Minggu, 16 Januari 2011

MEWARISI DAN MEWARISKAN SEMANGAT MARSINAH

Bulan Mei, seakan telah menjadi takdir sejarah bagi gerakan rakyat di Indonesia untuk menjadi bulan perlawanan. Bulan dimana rakyat bersama-sama menemukan momentum untuk meneguhkan sikapnya dan menempatkan dirinya secara lebih terhormat dan berdaulat di hadapan kekuasaan negara yang hari ini jalan pikir dan jalan kebijakannya dikendalikan oleh kepentingan sistem yang tidak berpihak pada rakyat, lebih dikenal sebagai model penjajahan gaya baru, neoliberalisme.

Gelora perlawanan itu muncul lahir dan tumbuh mengakar di semua lini kehidupan rakyat pekerja. Misalnya Kaum buruh, di tembok-tembok pabriknya mencatat berapa banyak upah yang dicuri oleh si tuan modal, kaum tani mencatat berapa kali lipat harga pupuk yang harus ditanggung untuk memastikan tanaman padinya tetap hidup, meskipun kadang-kadang pupuk yang sudah langka itu juga ternyata dipalsukan. Demikian dengan sektor rakyat yang lainnya. Dan upaya perlawanan yang dilakukan oleh rakyat pekerja terhadap penindasan tetap berlangsung mengisi lembaran-lembaran sejarah perjuangan rakyat meskipun para pemilik modal dan para pengikut setianya kadang kala meresponnya dengan tindakan represif aparat keamanan. Dan sebagaimana takdir sejarah itu terus berlangsung, semakin keras represivitas aparat terhadap upaya-upaya perlawanan, sejatinya menunjukkan bahwa negara sedang dalam posisi yang panik, kehilangan legitimasi dan kekhawatiran berlebihan karena merasa eksistensinya terancam dan gerakan rakyat akan menemukan titik kebangkitannya untuk menang.  Ingatlah apa yang terjadi di tahun 1998, jatuhnya rezim Soeharto diawali dengan peningkatan represi yang sangat signifikan. Penculikan, pembunuhan, pembakaran dan represi yang lainnya.


May Day, Sebuah pondasi perlawanan yang kian kokoh.
Baru beberapa hari yang lalu, gerakan rakyat terutama buruh menemukan titik awal membuka babak baru perlawanannya. 1 Mei, peringatan hari buruh Internasional yang sangat populer dengan sebutan May day semakin menemukan posisi pengakuan bukan saja di  hati sanubari kaum buruh, namun juga di pihak lawan yaitu pengusaha dan pemerintah. Pengakuan di hati kaum buruh, tentu dapat dilihat dengan antusiasnya kaum buruh menyambut peringatan May day dari tahun ke tahun meski untuk tahun ini disinyalir mangalami penurunan mobilisasi yang cukup signifikan. Tapi, itu tak cukup alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa May day tahun ini tidak memberikan arti penting. Justru kita melihat kualitas peringatan May day tahun ini semakin kuat dengan ditandai tuntutan yang semakin naik kekuatan politiknya. Bayangkan, May day yang diorganisir oleh ABM misalnya berani menunjukkan posisi politiknya untuk menyatakan de-legitimasi terhadap proses pemilu dengan kalimat tegas bahwa pemilu 2009 bukan pemilu Rakyat. Kemudian tak cukup di situ saja, Aksi May Day berani dengan tegas menyatakan bahwa SBY, Prabowo, Wiranto, Megawati dan semua nama ayang muncul dalam bursa Capres Cawapres sebagai bukan Pemimpin Kami, bukan pemimpin rakyat. Tentu ini hanya akan lahir dari sebuah keberanian dan ketegasan sikap politik yang dihasilkan dari pisau bedah yang diasah dari pengalaman perlawanan sehari-hari dan belajar dari pengalaman sejarah.

Masih menurut ABM, bagi kaum buruh, pemimpin mereka adalah pribadi-pribadi kokoh yang lahir dari balik tembok-tembok perlawanan di pabrik, dari bilik kontrakan kaum buruh yang sempit, dari lorong-lorong dan deru mesin produksi dan siapa lagi mereka kalau bukan para buruh dan para pemimpin serikat buruh yang mendedikasikan hidupnya bukan untuk gemerlap dunia penuh selebrasi, namun kesadaran untuk mengedepankan kepentingan kalangan yang lebih luas, para buruh dan rakyat tertindas lainnya.

Sikap ini, tentu saja menjadi counter yang utama atas garis politik serikat-serikat buruh kuning yang pragmatis bermain-main dengan elit kekuasaan, serikat buruh pragamatis yang rela menempatkan para elitnya menjadi caleg dari partai-partai borjuasi meskipun sebenarnya mereka sadar, partai-partai itu pula yang telah menghasilkan  sistematika penindasan atas nama regulasi, undang-undang dan peraturan lainnya. Meskipun kemudian mereka kecele, salah hitung karena sebagian besar atau bahkan semuanya gagal melaju menjadi anggota legoislatif. Ini, tanda bahwa mereka para elit yang men-caleg-kan dirinya tidak populer dan tidak membumi di hati anggotanya.

May day,  telah menjadikan dirinya picu ledak bagi upaya-upaya perlawanan pada kesempatan berikutnya semisal perlawanan menggugat sistem pendidikan nasional dalam Hari pendidikan Nasional, peringatan kematian Marsinah 8 Mei, peringatan tragedi 13 Mei, peringatan  kebangkitan nasional 20 Mei dan puncaknya dalam peringatan tumbangnya orde baru 21 Mei.

Marsinah, ikon perlawanan rakyat.
Namun, di sela-sela momentum perlawanan pada bulan mei ini, ada sesuatu yang sangat menyentak kesadaran kita semua, yakni hadirnya sosok Marsinah sebagai ikon perlawanan bukan saja buruh perempuan, namun gerakan buruh secara luas bahkan ikon perlawanan Rakyat pekerja. Ya, Marsinah yang dalam momentum perlawanan pada Bulan Mei ini diperingati tanggal kematiannya pada 8 Mei.

Terbunuhnya Marsinah, sebagaimana kalimat pada awal tulisan ini, sejatinya menunjukkan bahwa negara sedang dalam posisi yang panik, kehilangan legitimasi dan kekhawatiran berlebihan karena merasa eksistensinya terancam. Dan berita terbunuhnya Marsinah, menyatakan hal itu secara lebih tegas. Terbunuhnya Marsinah, diawali dengan gigihnya perjuangan kawan-kawan PT CPS yang dipimpin oleh Marsinah dalam menuntut hak-haknya, maka akhirnya 13 buruh PT CPS dipaksa mengundurkan diri oleh aparat Kodim Sidoarjo. Marsinah pun kemudian harus kehilangan nyawannya setelah hilang selama 3 hari dan baru diketemukan mayatnya pada tanggal 8 Mei 1993 di pinggir hutan jati Wilangan di Ngajuk. Sebelumnya Marsinah sangat gigih memperjuangkan nasib dari ke 13 buruh PT CPS yang di PHK di kantor Kodim Sidoarjo. Dari petugas rumah sakit yang mengotopsi jenazah Marsinah diketahui bahwa Marsinah tewas karena mengalami penganiyaan berat.

Dan kematian Marsinah, 8 Mei 1993 yang lalu, seakan menjadi tonggak utama kebangkitan kaum buruh untuk bangkit membangun kesadaran untuk merebut hak-haknya yang selama ini ditindas. Dan semangat buruh Pabrik itu, kini menjadi sebuah monumen yang kokoh berdiri di hati setiap buruh Indonesia, meluas terus sampai melampaui batas-batas sektoral.

Ya, Marsinah, kini bukan sekedar ikon tapi dia adalah kekasih semua pejuang kebenaran!

Mewarisi dan Mewariskan Semangat Marsinah.
Apa yang kemudian bisa dilakukan untuk terus menerus tanpa perasaan lelah menyatakan bahwa kita hormat dan mencintai nilai kejuangan sebagimana yang diteladankan Marsinah? Tentu saja tak lain dan tak bukan hanya dengan menyatakan perlawanan dan perjuangan terhadap penindasan para kapitalis, dan dalam konteks perjuangan hari ini  terasa telah  menemukan suatu momentum yang dapat mengkonsolidasikan dan menyatukan seluruh gerakan rakyat pekerja di Indonesia. Marsinah jelas merupakan simbol perlawanan dan pengakuan rakyat pekerja untuk mendapatkan hak berserikatnya. Marsinah merupakan momok yang sangat menakutkan bagi kapitalis pada saat itu, sehingga nyawanya harus dihilangkan.

Dan kini, kecintaan pada Marsinah harus pula mampu melahirkan sebuah gerakan lebih masif dan terukur, bukan saja melalui usulan kepada Negara agar mengangkat Marsinah sebagai pahlawan nasional, Karena perjuangan Marsinah lah maka rakyat pekerja mendapatkan jaminan untuk hak berserikat saat ini. Bukan hanya dengan  mengusulkan hari kematian Marsinah 8 Mei sebagai tonggak baru pengakuan rakyat pekerja untuk mendapatkan hak berserikat dan menjadikannya sebagai hari Buruh Nasional sebagai peringatan untuk mengenang jasa-jasa Marsinah dalam memperjuangkan nasib kaum rakyat pekerja di Indonesia, namun menebarkan kembali semnagat yang melandasi poerjuangan Marsinah kala itu menjadi leih penting justru pada kondisi saat ini, saat yang tepat karena rezim yang berkuasa sedang  kehilangan legitimasinya, panik mempertahankan eksistensinya dan sedang sibuk berebut kekuasaan melalui pilpres. Momentum yang lain adalah karena Indonesia menjadi bagian dari peta dunia yang juga sedang dilanda krisis yang mencapai puncaknya dan kepastian  dampaknya yang sangat luas bagi rakyat pekerja berupa PHK massal dan pemiskinan sistematis yang dilakukan oleh negara.

Dan kini, hari-hari setelah peringatan kematian Marsinah berlalu, tidak pantas rasanya kalau kemudian kita melupakan Marsinah. Kini saatnya melahirkan kembali kecintaan dan kesadaran itu melalui sebuah keyakinan untuk meretas kembali jalan berlawan itu. Sejatinya itulah cara kita mewarisi dan mewariskan semangat perjuangan Marsinah.

Kini, 16 tahun sesudah kepergiannya, Marsinah ada di tempat paling terhormat di hati para buruh Indonesia!

Ditulis oleh :
Khamid Istakhori

Tidak ada komentar:

Posting Komentar