Sabtu, 15 Januari 2011

Mengenang Rendra dan Memaknai Kemerdekaan

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan

Dengan tujuh lubang pelor
Diketuk gerbang langit
Dan menyala mentari muda
Melepas kesumatnya

Rendra, gerilya

Penggalan puisi diatas, ditulis oleh Rendra dan terbukukan dalam kumpulan  Ballada orang-orang tercinta (1957) dan merupakan buku kumpulan sajaknya yang pertama dan oleh Badan Musawarat kebudayaan Nasional (BMKN) tahun itu juga diannugerahi sebagai penyair terbaik. Rendra, adalah pribadi fenomenal, penyair yang berbeda dan sebuah karakter yang akan selalu kita rindukan sampai berita duka itu datang ke hadapan kita  beberapa hari yang lalu ketika media mengabarkan kepergiannya pada usia 74 tahun. Lengkap sudah perjalanan sang legenda burung merak, hingga penyakit jantung yang dideritanya menjadi penyebab kematiannya pada 6 Agustus 2009.

Rendra, pada awalnya bernama Willybrordus Surendra Rendra Broto kemudian lebih dikenal sebagai Rendra. Lahir di Solo pada 7 November 1935, ayahnya seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Kuno sedangka ibunya pernah menjadi penari di keraton Jogjakarta. Sajak-sajaknya yang menarik perhatian, mulai diumumkan dalam majalah-majalah di Solo dan Jakarta sekitar tahun 1954. Dan sejak saat itu, sajak-sajaknya terus mengalir.

Kita, mengenal Rendra dari buku-buku  pelajaran bahasa dan Sastra di bangku SMP. Disebutkan bahwa Rendra adalah salah penyair terpenting pada tahun 60-an karena karya-karyanya yang luar biasa. Tentu saja, karya-karya fenomenal rendra yang pada akhirnya lebih banyak memajukan dunia teater sepulangnya dari Amreika dengan membentuk bengkel Teater. Perjalanannya menjadi semakin terjal ketika Rezim Orde baru “selalu” melarang pementasan-pementasannya yang selalu sarat dengan kritik social.

Sajak Rendra dan Semangat kemerdekaan
Penggalan sajak diatas, berjudul Gerilya menggambarkan sebuah semangat pengorbanan  yang luar biasa. Istilah gerilya,  tentu saja sangat identik dengan perlawanan sebelum kemerdekaan atau peperangan untuk menuju Indonesia Merdeka. Dalam sajak itu, digambarkan bahwa seorang lelaki, terguling di Jalan, menjemput ajal dengan  tujuh lubang di tubuhnya karena bekas tembakan. Lelaki itu mati tertembak mati ketika melewati gardu Belanda pada sebuah malam karena  keinginannya untuk hadir dalam pemakaman ibunya. Sungguh sebuah sajak yang sangat sarat dengan makna dan keteladanan. Tentu saja, sajak ini merefleksikan kepada kita semua bahwa kemerdekaan negeri ini yang sebentar lagi mencapai usia ke 64 didirikan atas sebuah pengorbanan orang-orang yang sudah tidak berbicara lagi tentang keinginan  pribadinya kecuali karena satu keinginan, cita-cita dan semangat yang mendasari kolektiv bangsanya untuk merdeka.

Semangat itu, tentu saja terasa sangat terlukai ketika kini, ketika 64 tahun sudah negeri ini merdeka, namun kenyataannya bahwa semangat dan cita-cinta pada pendiri republik ini  semakin jauh atau dijauhkan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan rakyat kemudian menjadikan negeri ini barang gadaian untuk kepentingan sesaatnya. Semua terasa kian  tidak memberikan kepada rakyat untuk  mendapatan hak yang lebih besar dalam posisinya  sebagai bagian dari anak negeri. Lihatlah ketika kemudian semua sendi kehidupan sama sekali gelap dan tidak membeikan ruang pencerahan bagi masa depan kita dan anak-anak kita karena biaya pendidikan yang sangat tidak masuk akal, bagaimana para orang tua dipaksa bekerja  rodi atau menjadi romusha justru oleh kebijakan-kebijakan para pemimpin negerinya. Bekeja di pabrik-pabrik yang pengap tanpa perlindungan  sebelum itupun hilang karena terPHK. Sungguh sebuah kondisi yang sangat jauh dari harapan dan semangat para pendiri republik ini. Ironis!

Lalu apa yang sebenarnya kini terjadi di negeri ini? Lihatlah dari rekaman terdekat yang rasanya baru saja kita lalui melalui sebuah “pesta” bernama pemilu. Dari mulai persiapannya, penyusunan undang-undangnya dan proses pembentukan partai-partai, penyusunan daftar calon legislative hingga kisruh pemilihan  presiden.. Sungguh  sebuah potret yang “katanya” untuk kemakmuran rakyat dan demi masa depan yang lebih baik untuk rakyat namun sejatinya menempatkan rakyat  pada sebuah posisi tersudut yang kian sempit saja. Karena, para pemimpin itu, ketika telah selesai merayu rakyat untuk berbondong-bondong datang ke TPS mencontrengnya kini telah lupa pada janji sebenarnya karena mereka sejatinya hanya peduli dengan kursi dan kekuasaan semat dan rakyat akan menjadi tumbal pertama atas kebijakan-kebijakannya.

Maka, ketika kondisi itu terjadi, semakin buruk karena diperburuk oleh para pemimpin negeri ini yang lebih tunduk pada pesan tuan modal dan keingian cukong tuan tanah, maka kini saatnya kita yang harus bergerak untuk menentukan nasib kita sendiri karena sejatinya para pemimpin itu tak pernah peduli dengan kita, rakyat yang menjadi pewaris sah republik ini. Simaklah bagaimana para pemimpin itu tidak peduli melalui sajak Rendra yang lain : Revolusi para pemimpin, adalah revolusi para dewa-dewa / mereka berjuang untuk surga dan tidak untuk bumi / revolusi dewa-dewa tak pernah menghasilkan lebih banyak lapangan kerja bagi rakyatnya/ kalian adalah sebagian kaum penganggur  yang mereka ciptakan (Saja Bersatulah Pelacur-pelacur kota Jakarta).

Dan kini, ketika negeri  pongah nan angkuh ini bersiap meyambut pesta-pestanya, pesta kemerdekaan ke 64 tahun, pesta pidato-pidato kemenangan, pesta pelantikan pemimpin baru presiden terpilih. Maka, sejatinya kita juga harus menyiapkan bentuk penyambutan yang lain. Apalagi kalau bukan lebih giat bekerja melalui alat perjuangan kita untuk membangun kesadaran rakyat yang lebih luas, membangunkan orang-orang dan kini saatnya kita menjadi saksi atas lahirnya perlawanan atas kondisi yang semakin buruk ini.

Mengenang Rendra, memaknai kemerdekaan dan tentu saja  membangunkan banyak orang untuk berlawan seperti sajaknya Kesaksian : orang-orang harus dibangunkan, aku bernyanyi menjadi saksi…….. kenyataan harus dikabarkan……..

Selamat Jalan, Kawan. Selamat Jalan Rendra. Kami, akan terus melakukan   Gerilya agar kemerdekaan ini segera datang.

Ditulis oleh Sarwo Raras, tinggal di Kota Baru Karawang. Seorang Ibu rumah tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar