Senin, 27 Desember 2010

Menyingkap Tabir Dibalik Upah Buruh Rendah

Upah tenaga kerja secara teori  biasanya ditentukan melalui 3 (tiga) metode yaitu berdasarkan hukum pasar (interaksi supply dan demand), kemampuan finansial perusahaan dan berdasarkan biaya hidup. Di Indonesia, secara umum upah buruh ditentukan berdasarkan tingkat biaya kebutuhan hidup layak (KHL). 

KHL adalah tingkat kebutuhan biaya hidup yang merupakan refleksi dari pengeluaran konsumsi pekerja lajang selama sebulan.

Besaran nilai KHL yang didapat kemudian secara bersama-sama dibahas dan dirundingkan oleh pihak serikat pekerja, asosiasi pengusaha dan pemerintah yang  selanjutnya diusulkan kepada Kepala Daerah sebagai bahan pertimbangan bagi penetapan Upah Minimum pada suatu daerah. Dan diberlakukan untuk jangka wakta 1 tahun kedepan.

Upah Minimum secara filosofi adalah suatu jaring pengaman (safety net) yang mengatur tentang upah paling rendah yang harus dibayarkan kepada buruh. Dengan perkataan lain, Upah minimum merupakan upah yang paling terendah yang boleh dibayarkan pengusaha yang mempunyai batasan untuk seorang pekerja yang  bekerja selama 0 tahun dan berstatus lajang. Dari Batasan ini, maka perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) pun diasumsikan sebagai kebutuhan hidup minimum bagi seorang pekerja lajang selama  1 (satu) bulan.

Politik pengupahan yang ditetapkan di Indonesia, biasanya berlaku untuk jangka waktu satu tahun. Namun di negara lain seperti Malaysia, Vietnam dan China, Upah Minimum biasanya berlaku untuk minimal 5 (lima) tahun yang kemudian akan diadakan revisi bila dibutuhkan. Upah minimum yang mempunyai jangka waktu lebih panjang, biasanya menunjukkan kondisi stabilitas ekonomi suatu negara.

Dalam Penetapan kebutuhan hidup layak (KHL) terdapat 4 (empat) komponen utama yaitu Makanan dan Minuman, Perumahan dan Fasilitas, Sandang dan Aneka Kebutuhan. Di Indonesia, Penetapan Kebutuhan hidup layak didapatkan melalui survey yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan bersama Dinas Tenaga Kerja Kab/Kota. Survei  harga kebutuhan  dilakukan di pasar-pasar terpilih yang biasanya  dijadikan tempat  berbelanja kebutuhan hidup oleh para pekerja.

Disamping itu kondisi ekonomi makro indonesia seperti kenaikan BBM dan harga barang kebutuhan pokok  semakin mengurangi kekuatan upah yang diterima buruh. Faktor-faktor ketidakstabilan harga, moda transportasi yang mahal. Tentu saja iklim ekonomi makro nasional yang ada saat ini akan mempengaruhi kekuatan upah yang bakal diterima oleh pekerja.

Kondisi ini akan membuat  buruh maupun pengusaha menghadapi dilema. Buruh, tentu saja akan berupaya untuk bernegoisasi menaikkan upahnya untuk mengatasi kenaikan-kenaikan harga barang konsumsi dan biaya hidup. Namun pada lain sisi pengusaha akan mengupayakan agar tidak terjadi kenaikan upah.

Rendahnya Upah Buruh
Tingkat upah atau gaji buruh memang bermacam-macam besarnya. Ada yang sangat rendah dan ada pula yang sudah layak. Bagi buruh yang disebut profesional dan buruh setingkat manajer, gaji mereka relatif layak. Dengan gaji itu mereka bisa memenuhi banyak kebutuhan termasuk beli mobil dan rumah yang memadai. Walaupun ada buruh kerah putih (white collar) yang bergaji tinggi, tapi sebagian besar (mayoritas) buruh yang pada umumnya adalah buruh kerah biru (blue collar) yang justru diupah rendah.

Kenapa sebagian besar buruh mendapat upah rendah?  Pertama, karena upah biasanya mengikuti aturan hukum pasar: yaitu tentang permintaan dan penawaran terhadap tenaga kerja. Jumlah calon penjual tenaga kerja (termasuk angka pengangguran) yang melimpah, melemahkan posisi tawar buruh terhadap penyewa atau pembeli tenaga kerja (pengusaha). Belum lagi ditambah dengan banyak jumlah buruh yang di-PHK. Akibatnya, upah sebagai harga tenaga kerja mengalami kemerosotan.

Kedua, penentuan upah juga didasarkan oleh kebijakan pemerintah. Selama ini, pemerintah menetapkan tingkat upah yang rendah bagi buruh melalui pemberlakuan UMP. Survei dan penelitian upah yang dilakukan pihak pemerintah hanya sekadar untuk membenarkan ukuran-ukuran upah yang rendah. Tak ada rencana kebijakan pemerintah untuk menyejahterakan buruh.

Ketiga, masih terjadi diskriminasi rasial terhadap buruh Indonesia. Tampak pikiran rasialis dalam memandang buruh Indonesia ketika dibandingkan dengan buruh dari luar negeri yang bekerja di Indonesia seperti dari Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan, bahkan India. Sejumlah perusahaan yang mempekerjakan buruh asing ini memberlakukan upah yang tinggi dan fasilitas yang memadai, sementara bagi buruh-buruh Indonesia diberlakukan upah yang rendah. Dampak terburuk dari pendekatan rasialis dalam pengupahan buruh, bisa kita tengok pada kasus perkelahian antara buruh Indonesia dengan buruh India, disebuah perusahaan galangan kapal di Batam.

Keempat, upah buruh juga menghadapi faktor inflasi. Ketika harga barang dan jasa melambung, upah buruh justru merosot secara riil. Bila sebelumnya, dengan upahnya sehari bisa membeli sepotong kemeja, ketika harga-harga naik justru hanya mampu membeli tiga per empatnya. Artinya, sebanyak seperempat upahnya secara riil sudah merosot.
 
Kelima, buruh masih lemah dalam membangun dan mengembangkan kekuatannya sebagai kekuatan yang terorganisasi. Orde Baru telah memporak-porandakan kekuatan buruh. Sedangkan buruh sendiri sangat terpecah-belah. Dimana salah satu contohnya adalah buruh kerah putih, yang hampir tak pernah menyatakan dirinya sebagai buruh. Sebab, buruh kerah putih merasa dirinya lebih unggul dari buruh kerah biru, dan merasa dirinya sebagai wakil pengusaha. Akibatnya buruh kerah putih  yang semacam ini jadi miskin solidaritas, dan baru tersadar bahwa dirinya sebenarnya juga buruh manakala dirinya mengalami PHK.
 
Sumber:
http://www.solidaritasburuh.org/index.php/analisa/192-menyingkap-tabir-dibalik-upah-buruh-rendah
20 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar