Selasa, 28 Desember 2010

DEWAN PENGUPAHAN ADALAH ALAT LEGITIMASI POLITIK UPAH MURAH, YANG TIDAK BERPIHAK PADA KAUM BURUH

Sekalipun undang-undang telah menggariskan agar hak dasar buruh harus dipenuhi oleh pengusaha, namun pada praktiknya buruh tidak pernah menerima perlakukan yang wajar dari pengusaha.  Sebab masih banyak pengusaha yang belum memenuhi hak-hak normatif buruh tersebut, apalagi memenuhi hak-hak diluar normatifnya.

Ketidakpatuhan pengusaha tersebut disertai dengan beberapa alasan yang kurang rasional menurut buruh seperti perusahaan masih sepi order, bahan baku naik, biaya produksi naik atau alasan-alasan lain yang sebenarnya bukan urusan buruh. Sebab selama buruh bekerja, mereka tidak pernah diajak bicara mengenai permasalahan tersebut. Ironisnya, ketika buruh menuntut hak-hak dasarnyanya yang tidak dipenuhi oleh pengusaha, buruh “dipaksa”  untuk memahami dan memaklumi  keadaan perusahaan yang sedang dirundung malang  tersebut. 

Namun sayangnya, tidak pernah sekalipun perusahaan mau untuk memahami dan memaklumi kondisi buruhnya.
Ketidakadilan ini berpangkal kuat pada watak pengusaha  yang selalu bertindak eksploitatif dan akumulatif. Pengusaha berwatak eksploitatif dan akumulatif, karena modal selalu digunakan  dengan tujuan dan tuntutan untuk mendatangkan tambahan hasil baru disamping nilai dari modal itu sendiri. Salah satu caranya dengan mengambil atau mengurangi  jatah hasil dari orang lain, dalam hal ini buruh.  Pencurian hak buruh ini, sialnya dimungkinkan oleh aturan kebijakan pengupahan yang berlaku.

Menyoal Kebijakan Pengupahan
Dewan Pengupahan (baik tingkat provinsi, kota atau kabupaten) adalah suatu lembaga yang sangat penting dalam proses menuju penetapan upah minimum. Ia merupakan lembaga non-struktural yang terdiri dari unsur tripartit (buruh, pengusaha dan pemerintah). Lembaga inilah yang membentuk Tim untuk melakukan Survei Harga, menetapkan nilai KHL, serta mengajukan usulan kenaikan upah minimum yang akan ditetapkan oleh Gubernur (sebagai penguasa politik wilayah). Namun, disini pulalah yang menjadi persoalannya serta sangat terkait dengan salah satu persoalan utama dari klas buruh Indonesia, yaitu dominasi serikat buruh abu-abu.

Serikat buruh abu-abu ini adalah serikat buruh yang tidak memperjuangkan nasib buruh secara sungguh-sungguh. Serikat ini adalah duri bagi perjuangan buruh, karena secara historis serikat buruh abu-abu ini bikinan pemerintah orde baru yang dimaksudkan untuk menghadang laju gerakan serikat buruh sejati. Sialnya, keberadaan serikat buruh abu-abu ini masih bisa dimanfaatkan oleh penguasa dan pengusaha untuk menghadang laju gerakan serikat buruh sejati. Bahkan, serikat buruh abu-abu ini mendominasi jatah porsi perwakilan buruh untuk duduk di dewan pengupahan, baik secara nasional maupun regional.

Selain persoalan serikat buruh abu-abu, masih ada persoalan lain yang menjepit posisi buruh di dewan pengupahan. Ambil contoh dari komposisi salah satu Dewan Pengupahan di suatu wilayah, yang masing-masing unsurnya adalah tujuh, serta ditambah 1 orang dari BPS dan 1 orang dari akademisi (dua unsur terakhir ini sifatnya tidak tetap). Misalnya, apabila dalam penentuan upah minimum terjadi deadlock yang mendorong proses voting di Dewan Pengupahan, maka sudah hampir dipastikan bahwa unsur dari Serikat Buruh akan kalah secara jumlah (berhadapan dengan gabungan antara unsur pengusaha dan unsur pemerintah).

Pengalaman praktek selama ini, banyak kasus ketika penentuan upah minimum terjadi di Dewan Pengupahan, terjadi dua alternatif usulan nominal kenaikan upah yang diajukan oleh unsur Serikat Buruh (umumnya sesuai KHL atau diatasnya sedikit) dan unsur pengusaha (umumnya dibawah KHL). Situasi itu biasanya akan berujung dimana unsur pemerintah akan mengusulkan nominal kenaikan upah sebagai jalan tengahnya (diantara usulan unsur Serikat 

Buruh dengan unsur pengusaha). Jalan keluar apabila masing-masing pihak bertahan, tentu saja voting (pengambilan suara terbanyak). Sudah dapat ditebak, bahwa usulan dari unsur pemerintah lah yang biasanya akan keluar sebagai pemenang. Hal itulah yang selama ini dikatakan proses demokratisasi di Dewan Pengupahan. Padahal, dari komposisi yang ada, hampir dapat dipastikan bahwa unsur dari Serikat Buruh tidak akan pernah dapat memenangi voting tersebut.

Persoalan menjadi bertambah pelik, ketika mayoritas unsur Serikat Buruh yang duduk di
Dewan Pengupahan adalah Serikat Buruh yang memiliki watak abu-abu. Mereka seringkali berdalih di depan klas buruh bahwa mereka telah berjuang habis-habisan dan berdebat secara demokratis didalam Dewan Pengupahan, namun mereka kalah. Tentunya, semua orang juga mengetahui bahwa tanpa mereka berdebat sekalipun, mereka akan tetap kalah. Konspirasi jahat itupun berjalan lancar selama ini. Karenanya, tepatlah dikatakan bahwa Dominasi Serikat Buruh abu-abu merupakan salah satu persoalan utama dari klas buruh Indonesia. Memblejeti watak sejati dari Serikat Buruh abu-abu merupakan kepentingan dari seluruh klas buruh Indonesia.

Lalu, siapakah yang memegang faktor kunci dalam penetapan upah minimum? Jawabannya adalah Gubernur. Sebab, Dewan Pengupahan sifatnya adalah memberikan saran serta pertimbangan untuk penetapan upah minimum. Artinya, Dewan Pengupahan hanyalah alat dari klas-klas penguasa dalam penetapan upah minimum dan dijadikan tameng ketika tuntutan kenaikan upah yang digelorakan oleh Gerakan Serikat Buruh diarahkan kepadanya. Salah satu dalih yang sering diutarakan klas penguasa ketika berhadapan dengan tuntutan kenaikan upah yaitu “nominal kenaikan upah minimum telah dibahas secara demokratis secara tripartit di Dewan Pengupahan”, merupakan suatu pengalihan dari penanggung-jawab yang sebenarnya.

Menjadikan Buruh Semakin Babak Belur
Upah rendah adalah hasil yang tak terelakkan dari seluruh proses diatas. Namun, proses pengebirian upah klas buruh belum berhenti. Hal ini terkait dengan “apa jaminannya bahwa upah minimum yang sudah rendah itu dilaksanakan oleh para pengusaha?”. Kenyataannya secara normatif, pengusaha masih diberikan peluang untuk tidak membayar upah buruhnya sesuai dengan kenaikan upah minimum, atas nama penangguhan pelaksanaan. Lalu, apa kegunaan dari salah satu pertimbangan bagi penetapan upah minimum, yaitu “usaha yang tidak mampu (marjinal)”? Tentu saja, akan menjadi omong kosong belaka. Padahal, berbagai bahan pertimbangan selain nilai KHL, telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam memerosotkan nominal kenaikan upah minimum.

Dalam prakteknya, banyak pengusaha yang tidak memberikan upah buruh sesuai dengan standar upah minimum, bahkan tanpa izin “penangguhan”-nya sekalipun. Sedangkan, tindakan itu merupakan Tindak Pidana Kejahatan yang sanksinya adalah penjara (paling singkat adalah 1 tahun) atau denda (paling sedikit Rp. 100.000.000). Tidak ada satupun tindakan aktif yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja atau Kepolisian terhadap hal tersebut selama ini. Situasi itu baru dapat tersingkap ketika terjadi demonstrasi buruh di suatu pabrik. 

Namun itupun, juga tidak menjamin bahwa pengusaha tersebut akan dipidanakan.
Berdasarkan paparan singkat diatas, jelas bahwa fungsi upah minimum bukanlah ditujukan bagi perlindungan terhadap buruh, namun untuk mempertahankan Politik Upah Murah di Indonesia. Selain itu, ada beberapa hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan upah, namun pada kenyataannya sangat berpengaruh terhadap upah buruh. Dasar pandangannya adalah kemenangan tuntutan kenaikan upah yang digelorakan oleh  buruh, hanyalah bergantung atas perjuangan buruh itu sendiri melalui Gerakan Serikat Buruh yang memiliki watak Sejati.

Berharap pada kebaikan hati sang pengusaha, penguasa atau mengandalkan rezeki nomplok dari perdebatan-perdebatan di Dewan Pengupahan yang penuh dengan konspirasi jahat adalah mimpi di siang bolong.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar