Memimpin adalah tentang kepercayaan dari yang dipimpin kepada yang memimpin. Tanpa kepercayaan kepemimpinan pastilah gagal. Kepercayaan tidak dibentuk dalam satu malam, kepercayaan timbul dari prilaku keseharian sang pemimpin. Tulisan dibawah adalah tentang pentingnya niat yang baik (good intention) dalam kepemimpinan. (NFS).
Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) mengadakan studi tahunan di seluruh dunia, membandingkan kepercayaan masyarakat terhadap berbagai lembaga, termasuk pemerintahan nasional, wakil rakyat, perusahaan global, dan perusahaan lokal. Bisakah Anda menerka siapa pemenang setiap tahun sejak survai ini dimulai? Non-Governmental Organizations alias NGO. Sementara, untuk survai yang membandingkan tingkat kepercayaan dalam berbagai profesi, menurut Anda, siapa yang paling konsisten berada paling akhir? Para politikus.
Entah mengapa saya tergelitik untuk mengutip hasil survai yang diangkat oleh Sephen M. R. Covey dalam bukunya, The Speed of Trust ini setelah saya membaca beberapa headline koran nasional tentang sanksi bagi anggota DPR yang membolos. Ditambah lagi dengan aksi aktor Pong Harjatmo yang mencoreti atap gedung MPR-DPR dengan tulisan yang menyentil pihak legislatif.
Saya yakin, setiap orang, ketika akan menduduki jabatan tertentu, baik dalam posisi kepemimpinan maupun tidak, pasti diawali dengan NIAT. Dan rasanya kita bisa sepakat, niatlah yang mampu membedakan rupa outcome atau hasil setiap tindakan maupun pilihan kita.
Menyoal perbedaan "pendapat publik" tentang kepercayaan terhadap NGO dan para politikus, rasanya tidak salah jika kita katakan bahwa salah satu pembeda utamanya adalah soal niat- entah niat yang sesungguhnya atau niat yang diasumsikan atau niat yang dituduhkan.
Sebagian dari kita kerap melontarkan pertanyaan, apa motif atau agenda para politikus? Apakah mereka benar-benar peduli untuk memberikan yang terbaik bagi semua orang yang berkepentingan? Atau apakah mereka lebih mementingkan kekuasaan politk, politik partai, ego mereka sendiri, atau keuntungan yang mungkin mereka petik bagi diri mereka sendiri?
Sementara, pada NGO-NGO yang profesional, motifnya pada umumnya memberi nilai tambah pada misi-misi yang jelas dan spesifik, menguntungkan bagi yang membutuhkan.
Sayangnya, di Indonesia, asumsi masyarakat terhadap niat atau motif para politikus diperkuat pula oleh perilaku tidak menyenangkan yang makin ketara belakangan. Perilaku sebagian wakil-wakil kita akhirnya membuat kita sanggup melontarkan kata, "Sudah saya duga," dan berujung makin rendahnya public trust terhadap legislator.
Niat dan Kepemimpinan
Niat, mengingatkan kita bagaimana seharusnya kita berperilaku agar semua keinginan kita tercapai. Dalam kepemimpinan, dengan menyelipkan niat baik pada semua aspeknya, plus sikap transparan, sanggup menggerakkan semangat bekerja secara sukarela dalam diri setiap orang yang dipimpin.
Dalam The Speed of Trust, Stephen menekankan setidaknya ada tiga hal yang patut dibicarakan terkait dengan niat: Motif, Agenda, Perilaku. Motif adalah alasan Anda untuk melakukan sesuatu. Motif yang sangat membantu seseorang mendapatkan kepercayaan adalah rasa peduli yang tulus. Peduli terhadap orang lain, peduli dengan kualitas setiap aktivitas Anda. Di level yang lebih tinggi, peduli terhadap masyarakat secara umum.
Kepercayaan kita terhadap seseorang dapat sangat kuat jika kita yakin mereka memiliki kepedulian yang tulus terhadap kita. Bawahan akan mempercayai pemimpinnya jika mereka tahu persis sang atasan tulus memperhatikan kepentingan mereka. Intinya, kepercayaan kita terhadap orang dan organisasi antara lain berasal dari keyakinan bahwa mereka benar-benar peduli terhadap kita. Kembali ke masalah di Indonesia, seberapa banyak dari kita mampu memberi jawaban YA terhadap pertanyaan, "Apakah lembaga perwakilan rakyat berikut orang-orang di dalamnya benar-benar peduli terhadap kepentingan rakyat?" Kita pun kerap menjumpai slogan-slogan "Kami peduli Anda." dari organisasi-organisasi bisnis. Ini merupakan bentuk pengakuan akan pentingnya kepedulian bagi pencitraan perusahaan.
Bekas eksekutif Yahoo, Tim Sanders, menulis tentang dampak kepedulian dalam istilah yang sangat praktis pada bukunya Love Is The Killer App. Di dalam buku tersebut, ia mengungkap bagaimana kepedulian dan belas kasih kepada orang lain bisa dijabarkan dalam perilaku-perilaku yang spesifik, yang mendorong cara berbisnis lebih baik bagi semua orang. Kepedulian selaras dengan performa, karena kepedulian membangkatkan kepercayaan. Kepercayaan dalam bisnis adalah pondasi kesetiaan pelanggan.
Agenda muncul dari motif. Agenda adalah tindakan atau aktivitas yang Anda rencanakan akan dilakukan. Agenda yang pada umumnya menginspirasikan kepercayaan terbesar adalah mengupayakan keuntungan bersama. Secara tulus menginginkan apa yang terbaik bagi semua orang yang terlibat. Anda tidak hanya menginginkan kemenangan bagi diri Anda, tetapi juga kemenangan yang sama bagi pihak lain.
Kita sering mendengar kata "hidden agenda", dan biasanya, bila kita berhadap langsung dengan orang-orang yang memiliki itu, kita cenderung was-was,khawatir, dan kehilangan kepercayaan. Hal yang sama yang mungkin mendorong tumbuhnya halnya rasa skeptis sebagian masyarakat Indonesia terhadap kewajiban pajak. Seandainya pemerintah mampu menunjukkan hasil konkrit dari pungutan yang dibebankan, atau mungkin bersikap sangat transparan akan penggunaan pajak, rasanya bukan tidak mungkin rasa skeptis tersebut berubah menjadi bentuk dukungan.
Perilaku pada umumnya adalah perwujudan dari motif dan agenda. Perilaku yang paling berpengaruh dalam menciptakan kredibilitas dan kepercayaan adalah memperhatikan kepentingan orang lain. Saat melakukannya, secara jelas kita memperlihatkan motif kepedulian kita terhadap orang lain dan agenda mengupayakan manfaat terbaik bagi semua pihak. Menurut Stephen, inilah ujian terberatnya. Kita bisa dengan mudah mengatakan, "Saya peduli" atau "Saya menginginkan yang terbaik untuk kita semua." Namun, sesungguhnya dari perilakukan akan terlihat kesungguhan akan ucapan maupun komitmen kita.
Pendiri Starbucks Howard Shultz memberikan contoh sangat baik dalam berperilaku yang menumbuhkan kepercayaan. Pada tahun 1997, tiga karyawan Starbucks terbunuh dalam kejadian perampokan di salah satu gerai Starbucks di Washington DC. Mendengar kabar tersebut, Howard langsung mencarter sebuah pesawat menuju Washington, dan menghabiskan waktu satu minggu di sana, bekerja dengan polisi, menghibur karyawan korban, dan bertemu dengan karyawan lainnya. Ia pun turut menghadiri pemakaman ketiga karyawannya tersebut. Lebih jauh lagi, ia menyumbangkan seluruh keuntungan dari gerai tersebut kepada organisasi yang bekerja demi hak-hak para korban kekerasan dan organisasi pencegahan kekerasan. Howard mengajarkan kepada kita bahwa kepedulian terhadap tiga karyawan tersebut berarti mewakili kepedulian terhadap ribuan karyawan lainnya.
Pertanyaannya, seperti apa potret kita?
Satyo Fatwan
Managing Partner
Dunamis Organization Services
Dikutip dari Warta Ekonomi edisi Agustus 2010
Sumber: www.dunamis.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar