Senin, 20 Desember 2010

Perjuangan Ideologis Dalam Serikat Buruh

Melandasi kerangka ideologi pada Serikat Buruh (SB) menghadapi tantangan terjangan gejolak ekonomi global. Perserikatan kaum buruh yang solid mesti meletakkan fondasi bangunan organisasinya atas tiga pilar: ideologi, politik dan strategi industrial. Mula buka sejarah gerakan buruh sedunia selanjutnya mengenal tradisi dan aliran ideologis di antaranya, Sosial-Demokrat, kiri/Marxis, dan sosio-katholisisme. Spektrum politik ini bergerak pasang surut mewarnai perjalanan perjuangan sosial politik kelas pekerja.
Demikian terungkap pada diskusi Sabtu (28/3/08) di PSB saat pembicara Dr. Nico Warouw, Ketua Divisi Kerjasama & Pengembangan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM, melontarkan pendapat dalam diskusi reguler bertajuk ‘Pentingnya Ideologi & Gerakan Serikat Buruh di Asia’. Dihadapan 28 orang peserta dari kalangan LSM, pengurus SB, buruh korban PHK, aktivis mahasiswa dan perempuan perbincangan diawali dengan mengkaji tulisan Keith Abbott berjudul ‘Mengapa Ideologi Mendominasi SB di Asia Pasifik”.

Perlu disadari bahwa ideologi merupakan sesuatu yang melekat dalam organisasi SB. Boleh dikata hampir setiap organisasi pekerja yang menonjol di Asia membekali ciri ideologi tertentu. Menurut Nico, penelitian Abbott ini juga mengetengahkan betapa landasan ideologi tak melulu serta merta terlekat di tubuh organisasi. Di beberapa negara Asia, khususnya SB-SB yang terafiliasi dalam konfederasi SB se-dunia, semisal International Congress of Free Trade Union (ICFTU), suasana kecenderungan ideologi cukup dominan ketimbang aktivitas politik dan strategi industrial. Aktivitas politik ini berupa kemampuan SB membangun posisi tawar terhadap pemerintah hingga dapat diluncurkan program kebijakan yang pro buruh. Sedangkan poros kerja industrial ialah kapasitas organisasi SB mempengaruhi proses-proses hubungan produksi industrial guna pemenuhan hak normatif buruh. Seperti kecakapan berunding SBUK (Unit Kerja) terhadap manajemen perusahaan. Selama diskusi berlangsung, Nico yang mantan aktivis PRD untuk perwakilan internasional di Eropa dan Australia era 90’an, mengajak peserta menguji kesimpulan Abbott. Yang menandaskan bahwa SB-SB di Asia Pasifik mengalami kemandulan di bidang politik dan industrial sehingga untuk mempertahankan relevansinya tetap kudu bermain di ranah ideologis. “Tapi menurut saya banyak SB atau mungkin federasinya, misalnya Aliansi Buruh Magelang Federation, kinerja organisasinya mampu mempengaruhi kekuasaan politik lokal baik Bupati ataupun Disnakertrans”, ujar M. Zuhdin, penasehat ALBUM-F.

Di mata Sila Trihastana, aktivis Institute for Migrant Workers (IWork) Yogyakarta, kesimpulan Abbott tidak tajam dan sangat umum sekali. “Penelitian dia nggak bisa menggambarkan kondisi buruh di Indonesia”, cetusnya. Apalagi memang, seperti juga diakui Haryanti, aktivis buruh dari Semarang yang pengurus PSB itu, tak mengelak keberhasilan SB yang tengah berupaya membangun posisi tawar secara politis terhadap pemerintah daerah setempat. Di contohkan, ALBUM-F cukup efektif mengartikulasikan kepentingan buruh dengan berhasil mendesakkan aturan berkaitan THR (tunjangan hari raya), pesangon dan hak normatif lain yang diperkuat SK Bupati Magelang.

Bukan Soal SDM Buruh
Yang dialami Slamet Hidayat, organiser buruh PSB yang bertugas di Tegal, Pekalongan dan Brebes, Jawa Tengah, lain lagi. “Kendala saat memberi pemahaman pendidikan politik dihadapan forum buruh mungkin akibat rendahnya pengetahuan SDM buruh mengingat latar pendidikannya”, ujar Slamet. Akan tetapi, ditandaskan Nico angkatan kerja sekarang lebih melek pendidikan. Ini dari jajak penelitiannya di Tangerang dan Sukoharjo lalu. Memang di era 80-90’an tamatan SD mendominasi kalangan buruh manufaktur. Sementara kini kebanyakan buruh lulusan atau putus sekolah setingkat SLTA.
Meningkatnya pendidikan formal dapat menjadi modal sosial. Meski hal ini tidak sekaligus membuktikan kaitan pendidikan formal dengan daya kognitif buruh, seperti disebut Yulianto Sigit Wibowo, anggota SAMIAJI Center (SC) Yogyakarta ini. Lantas, jika toh barangkali dua dekade lalu sumber informasi para buruh berasal dari organiser dan buletin LSM, sekarang klaim begitu terlalu sombong. Gelombang keterbukaan sudah membanjirkan informasi cetak dan elektronik atau pergaulan yang leluasa memungkinkan narasumber lebih kompleks. “Kalau Vladimir Lenin menjelaskan problem Rusia seabad lalu dalam konteks industrialisasi di Eropa tengah dimulai dengan terbentuknya kelas buruh yang memerlukan pasokan informasi dan pendidikan dari luar, pada zaman sekarang ini tentu suasananya berbeda”, kata Nicolaas Warouw.

Bahkan para aktivis organiser tak lagi bisa melihat buruh hanya dalam aspek relasi produksi saja. Namun juga memperhatikan aktivitas sosial lain seperti misalnya buruh juga kepala keluarga, pengurus RT, RW atau memiliki kapasitas sosial beragam. “Melihat kawan buruh hanya sebatas relasi produksi sebagai pekerja saja merupakan kejahatan simbolik di kalangan aktivis organiser”, jelas Nico.

Buruh yang berkesadaran kritis menurut perkiraan umum cuma berkisar 1-2 persen. Sisanya mayoritas 99 persen tak cukup mudah beranjak lebih politis. Ini tantangan sekaligus ‘jebakan’ agar taktik pengorganisasian dan pendidikan kaum buruh tak menjadi elitisme sebagaimana menghinggapi SB-SB di Asia. Di beberapa negara kecenderungan SB di sana dalam program pelatihan dan kursus politik hanya diikuti segelintir pengurus. Jadi seperti ada kasta-kasta yang bersifat elitisme.
Karena itu, menyimak pelajaran praktik elitisme pada sebagian SB, maka pemberdayaan basis konstituen mesti diperkuat. “Terutama karena masih lemahnya gerakan buruh di Indonesia sebagai kekuatan alternatif. Perjuangan yang melulu ekonomis walaupun telah dikonsolidasi sampai ke tahap konfederasi serikat semestinya mengakomodir watak sejati gerakan ke arah wilayah kekuasaan politis”, imbuh Suryanta Ginting, jubir LMND-PRM.

Bagi mahasiswa jebolan UPN Veteran Yogyakarta ini, spektrum perjuangan buruh di Indonesia terbagi mulai dari yang berjuang bersama partai politik dan ada yang berdiri sendiri. Yang mengorbit terhadap parpol terkadang ada yang arah perjuangannya tidak sesuai dengan visi SB umumnya. Di sinilah dalam amatan Juli Nugroho dari PSB, belum tangguhnya konfederasi nasional SB ketika menghadapi serangan liberalisme di tengah membludaknya angkatan pengangguran, justru yang harus difokuskan pada struktur di bawah. Penguatan organisasi tak hanya serikat buruh, melainkan juga serikat pekerja dalam arti luas buruh informal.

Sumber:
http://www.solidaritasburuh.org/index.php/catatan-diskusi/85-perjuangan-ideologis-dalam-serikat-buruh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar