VIVAnews - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar akan menindak tegas pengusaha yang terbukti membungkam serikat pekerja karyawannya (union busting).
"Saya perlu menegaskan bahwa union busting itu melanggar UU Ketenagakerjaan dan bersifat kriminal. Saya akan bawa kasus-kasus seperti ini ke ranah hukum," kata Muhaimin usai pertemuan dengan FSP Mandiri di kantor Kemenakertrans, Jakarta, Jumat, 12 Maret 2010.
Untuk itu, Muhaimin akan mengintensifkan kerja sama dengan lembaga hukum seperti Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung untuk menangani kasus-kasus ketenagakerjaan yang diindikasikan sebagai union busting di Indonesia.
Dia menuturkan, belakangan ini terjadi gejala pembungkaman aspirasi pekerja/buruh melalui union busting yang melarang pendirian serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan.
"Pengusaha saya harapkan tidak menggunakan cara seperti ini untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Semua masalah pasti bisa kita selesaikan dengan baik kalau kita bicarakan dengan baik pula, gunakanlah prosedur dan lembaga penyelesaian perselisihan dengan sebaik-baiknya," ujarnya.
Beberapa kasus perselisihan hubungan industrial seringkali mengakibatkan kasus-kasus PHK yang dikeluhkan beberapa pihak, terkait dengan proses union busting, di antaranya seperti yang muncul dalam PHK Hotel Papandayan, Hotel Grand Aquila, Indosiar, dan Angkasa Pura I.
Sebaliknya, Muhaimin juga meminta agar serikat pekerja mencari pola baru pendekatan penyelesaian setiap kasus ketenagakerjaan. "Strategi teman-teman Serikat Pekerja/serikat buruh memaksa pengusaha kelihatannya sudah tidak efektif dengan cara-cara lama, perlu pendekatan yang agak lain dengan mengedepankan hubungan komunikasi bipartit yang harmonis," ujarnya.
antique.putra@vivanews.com
• VIVAnews
Jumat, 24 September 2010
Selasa, 21 September 2010
Salam Dari Pengurus-September 2010
Minal aidin walfa izin Mohon Maaf Lahir dan Bathin,
” SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1 SYAWAL 1431 HIJRIAH ”
Kawan-kawan pekerja yang kami hormati
Dalam suasana Idul fitri, kami pengurus dengan tak henti-hentinya mengajak kita sekalian untuk
membersihkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan PKB yang telah kita sepakati, selaku
pengurus kami berharap agar kita dapat menunjukan sikap yang baik sebagai seorang karyawan, kita
tunjukan bahwa kita memang pantas dihargai dengan upah yang layak, karena kita telah dan akan
berbuat yang terbaik untuk perusahaan.
Saudara-saudara pekerja yang kami banggakan.
Pada kesempatan ini pula kami mengajak kita sekalian agar dapat berperan aktif dalam kepengurusan
serikat pekerja, masa kepengurusan SPPT. Tel yang ada saat ini akan berakhir pada bulan januari 2011,
dan akan diadakan pemilihan pengurus baru pada bulan Desember yang akan datang, untuk itu kami
berharap agar kita mempersiapkan diri untuk memilih orang-orang yang akan duduk dalam perwakilan
seksi pada kepengurusan periode yang akan datang, kami melihat masih banyak anggota SPPT. Tel
yang mempunyai potensi untuk memimpin pada periode yang akan datang, namun semua ini tidak
akan berarti bila orang-orang yang mempunyai potensi tersebut tidak berusaha untuk masuk dalam
perwakilan seksi/department, karena konstitusi (AD/ART ) SPPT. Tel telah mengatur bahwa
Pengurus SP PT TeL dipilih dari, dan oleh pekerja melalui perwakilan Seksi/Departemen
dalam suatu rapat anggota.
Dan akhirnya kembali kami mengajak kita semua untuk memajukan Perusahaan agar agar kita dan keluarga dapat sejahtera.
Terima Kasih dan Salam solidaritas.
Pengurus SPPT. Tel
Jumat, 17 September 2010
PEMAHAMAN DASAR TENTANG HUKUM DAN HUKUM PERBURUHAN
(Materi Pendidikan Pemula untuk Buruh)
oleh: Surbakti

Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Biasanya jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga ketakutan kawan-kawan untuk menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional), tujuh ribu rupiah misalnya. Karena kawan-kawan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan: "UMR = Rp 4.000,-, kalau saya menuntut Rp 7.000,- maka saya melanggar hukum, menuntut hal yang tidak wajar, berlebihan dan terlalu banyak. Dan kalau saya melanggar hukum, maka saya akan berurusan dengan polisi atau tentara!"Benarkah pemikiran semacam itu? Untuk menjawabnya atau membantu kawan-kawan menemukan jawabannya, maka di bawah ini akan diuraikan tentang proses penciptaan hukum, pengertian dasar tentang hukum, hukum di tengah perkembangan masyarakat, hukum pada umumnya di Indonesia dan cara pandang kita atau analisa kita terhadap hukum perburuhan di Indonesia. Materi ini tidak dimaksudkan untuk mendorong kita menjadi ahli hukum, melainkan membantu kita untuk dapat menempatkan hukum pada posisi dan cara pandang yang benar, agar dengan demikian kita juga dapat menggunakan hukum sebagai salah satu alat dalam perjuangan kaum buruh di Indonesia.
Proses Penciptaan HukumPada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan. Apakah maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali pertama ini tentang proses penciptaan hukum.
1. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Keadilan
Sekarang marilah kita perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang diri dan kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari perbandingan ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua kehidupan tersebut, di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan antar individu manusia akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal bersama dengan manusia lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada situasi ini, apabila tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan tidak beres dan tidak tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan menindas dan memperlakukan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga kemudian peraturan-peraturan yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar kesewenang-wenangan tersebut dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih adil diantara mereka. Sehingga fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat.
2. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Kepentingan
Di sisi lain terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah, maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan tanah tersebut. Orang-orang 'miskin' itu bekerja dan sepenuhnya hidup tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur masyarakat, maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi isi hukum tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang lain) bisa dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak, maka ia dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa yang dia inginkan.
Sehingga pada sisi ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum seperti inilah yang terus berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya sudah sedemikian banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan perwakilan seperti DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala penciptaan hukum dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena masyarakatnya masih sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul dan bermusyawarah menciptakan suatu peraturan tertentu).Pengertian Dasar Tentang Hukum Dari uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud dengan hukum ialah suatu rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya ketertiban, di mana pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.
Jadi sesungguhnya hukum adalah salah satu norma dalam masyarakat, seperti juga norma agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang lebih tegas daripada norma yang lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat pemaksa yaitu hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan dan terasa oleh pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman ini diterapkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan lain sebagainya. Nah, sekarang tergambarlah sudah, bahwa apabila kita menyebutkan 'hukum', maka hal itu bukan saja berarti sekumpulan kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal, tetapi ada juga lembaga-lembaga ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga berarti:
- Buku-buku yang berisi pasal-pasal mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;
- Lembaga-lembaga penegakkan dan pembentuk hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan, kepolisian, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain;
- Manusia penegak hukum, misalnya: masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara, dan lain-lain.
Hukum dan Perkembangan Masyarakat
Seorang hakim Agung dari Jerman yang bernama Karl Von Savigny mengatakan bahwa "Hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat." Pernyataan itu dapat diandaikan sebagai berikut:
Pada tahun 30-an masyarakat memakai dokar sebagai alat transportasi sehingga kemudian muncul peraturan tentang tata tertib pemakaian dokar. Tetapi masyarakat terus berkembang. Sekarang di tahun 90-an, masyarakat tidak lagi memakai dokar, tetapi sudah menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Tetapi peraturan tertulis adalah benda mati. Haruskah masyarakat dikekang agar tidak menggunakan kendaraan bermotor karena tidak ada peraturannya? Tentu saja tidak! Melainkan, peraturanlah yang harus berubah. Maka dibuatlah sebuah peraturan tentang kendaraan bermotor.
Persis seperti itu pula dengan apa yang terjadi pada perkembangan perjuangan kaum buruh di Indonesia. Kalau pada tahun 50-an kebutuhan kaum buruh dinilai dengan tidur beralaskan tikar, berpenerangan lampu teplok, beralas kaki sandal jepit, dan lainnya, sehingga itulah yang digunakan sebagai standar menentukan upah, apakah di era canggih sekarang ini di mana orang telah memakai listrik, menemukan satelit atau komputer, kita tetap menerima upah berstandarkan tikar, lampu teplok dan sandal jepit??!! Tidak! Sekali lagi: tidak! Kenapa? Karena masyarakat telah berkembang. Dan kita tidak hidup di tahun 50-an. Kita hidup sekarang di tahun 90-an, di tengah teknologi dan inflasi.
Itulah karenanya peraturan yang ada sekarang hanyalah membuat kita resah, gelisah melihat kebutuhan-kebutuhan yang kian hari kian tak dapat terpenuhi. Lalu mengapa hukum tidak dapat menjawab keresahan-keresahan kita? Mengapa hukum yang ada tidak membuat kita merasa adil atau terlindungi? Jawabannya adalah karena proses penciptaan dan perkembangan hukum yang ada sekarang telah memasuki tahap penciptaan hukum yang berpihak pada sisi kepentingan sekelompok orang yang bernama pemodal. Masyarakat sendiri berkembang dalam tahap-tahap. Dimulai dari masyarakat primitif --> perbudakan --> feodal --> kapitalis --> masyarakat tanpa klas. Setiap bentuk masyarakat itu mempunyai ciri-cirinya yang sangat spesifik (khusus), terutama pada struktur ekonomi dan pola produksinya. Sehingga berangkat dari ciri tersebut kemudian mempengaruhi watak negara. Yang berarti juga mempengaruhi segala unsur dalam negara termasuk politik, hukum, dan lainnya.Pada masyarakat kapitalis, di mana sekelompok kecil menguasai pemilikan alat-alat produksi dan di sisi lain sekelompok besar lainnya hanya memiliki tenaga untuk melakukan kerja, maka masyarakat terbagi atas kelas-kelas terutama dalam hubungan ini, kelas pemilik modal dan kelas buruh. Dan pada masyarakat kapitalis watak negara pun menjadi kapitalistis (berpihak pada klas kapitalis). Kalau watak negara kapitalistis, maka hukum yang berlaku juga diwarnai dengan keberpihakannya pada klas pemodal.Hukum dalam Masyarakat IndonesiaWalaupun banyak orang yang mengatakan pasal 33 UUD 1945 bersifat sangat sosialis, tetapi perkembangan masyarakat Indonesia, tidak dapat dipungkiri, telah masuk dalam tahap masyarakat kapitalis. Lihatlah pabrik-pabrik yang berdiri megah-megah itu dimiliki oleh segelintir orang saja. Badan-badan usaha milik negara pun sekarang telah mulai diswastanisasikan, dimiliki oleh kaum bermodal. Dan kita pun memilah orang-orang menjadi: orang-orang bermobil, berumah mewah, memiliki perusahaan-perusahaan kita sebut pengusaha dan orang-orang yang berebutan naik "bis karyawan," makan mie instan setiap hari, tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh kita sebut buruh. Semua itu membuktikan bahwa Indonesia sekarang adalah negara kapitalis. Dan apabila kita bertanya: jadi seperti apakah sistem hukum Indonesia? Jawabannya pasti sistem hukum yang kapitalistis.Oleh sebabnya, secara umum dapat kita simpulkan bahwa sulit sekali kaum tertindas di Indonesia untuk mendapatkan keadilan melalui hukum. Banyak peristiwa yang tidak dapat diselesaikan secara adil oleh perangkat hukum. Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau Kalimantan misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal yang mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak dapat juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu menjadi lahan industri, _real estate_ atau lapangan golf. Atau kasus-kasus pemogokan dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan senjata. Banyak juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum, seakan-akan hukum tak pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak lagi peristiwa lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum hanyalah menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal. Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat disembuhkan kecuali sistemnya dahulu diperbaiki. Dan kalau kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum, kita dapat membagi hukum dalam dua cara kajian:
1. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur pihak-pihak yang bersengketa);
2. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur persengketaan pihak-pihak. Hukum perburuhan adalah salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat jelas, yaitu pada intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan buruh. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya.Hukum Perburuhan di IndonesiaSekarang kita akan membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang bagi kaum buruh jenis hukum inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita sehari-hari. Hukum perburuhan sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah dipelajari untuk melihat perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di Indonesia. Namun untuk mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya dengan hal-hal yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya begini, kenaikan upah yang ditetapkan menurut peraturan akan dirasakan besar apabila hanya melihat jumlahnya. Tetapi kalau kita juga mempelajari kenaikan-kenaikan harga di pasar, maka jumlah ini akan terlihat sangat kecil, bahkan kenyataanya dapat dikatakan tidak ada kenaikkan sama sekali.Selain itu juga secara keseluruhan peraturan-peraturan perburuhan yang berlaku sekarang di Indonesia merupakan rangkaian dari proses pemenjaraan hak kaum buruh. Untuk hal ini tentu saja kawan-kawan harus mempelajarinya melalui diskusi-diskusi kelompok. Tetapi mungkin pada bagian ini kita akan coba pelajari sedikit tentang hukum perburuhan dan di sisi apa ia sangat merugikan kaum buruh.Peraturan Mengenai UpahUpah kecil dan sangat tidak realistis, kita tidak perlu membahasnya karena hal itu kawan-kawanlah yang dapat merasakannya sehari-hari. Tetapi terhadap pelanggaran ketentuan upah, apa sanksi yang dapat dikenakan terhadap majikan? Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1981 pasal 32 menyebutkan apabila majikan melanggar ketentuan mengenai upah maka dia dapat dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000,-. Sekarang marilah kita hitung, kalau saja sebuah perusahaan mempekerjakan 1000 orang buruh, dan melanggar ketentuan upah minimum Rp 500,- kepada setiap orang buruh setiap hari.
Dalam satu hari saja keuntungan yang dapat diambil oleh majikan dengan merampas hak buruh mencapai = Rp 500,- x 1000 = Rp 500.000,-. Dalam sebulan = Rp 500.000,- x 25 = Rp 12.500.000,-. Dalam satu tahun = 12 x Rp 12.500.000,- = Rp 150.000.000,-.Tentu saja dengan hal ini majikan akan memilih melanggar ketentuan upah dengan sanksi Rp 100.000,- ketimbang membayarkan hak buruhnya.Ketentuan ini sangat tidak masuk akal dan sangat tidak adil untuk buruh. Padahal ketentuan hukum menyebutkan bahwa sanksi yang dijatuhkan untuk setiap pelanggaran hukum haruslah jauh lebih berat daripada bentuk pelanggarannya, karena itulah yang akan membuat setiap pelanggarnya menjadi jera untuk melanggar hukum. Tetapi apakah ketentuan ini diterapkan dalam PP No. 8 tahun 1981?Ketentuan mengenai Hak MogokDalam konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang telah diratifikasi (disyahkan berlaku) oleh Indonesia dinyatakan bahwa mogok adalah hak buruh. Dalam sejarah pun mogok memang merupakan senjata kaum buruh. Mengapa? Karena dengan mogoklah kaum buruh dapat menyeimbangkan kekuatannya dengan pemodal yang mempekerjakannya. Tetapi kemudian berlakulah rangkaian peraturan yang setahap demi setahap sebenarnya mempereteli senjata kaum buruh ini. Misalnya saja pada pasal 13 UU No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, menyebutkan "penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundang-undangan." (UU No. 22 tahun 1957 dan Penpres No. 7 tahun 1963) yang sesungguhnya mengatur tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang di dalamnya telah mengambil alih fungsi mogok dengan dibentuknya lembaga arbitrase yang terdiri dari Perantaraan Depnaker, P4D, dan P4P. Lembaga-lembaga yang pada kenyataannya sama sekali tidak berpihak pada buruh, dan sangat melemahkan tuntutan buruh terpusat pada ketentuan normatif saja.Demikian juga tentang kesehatan dan keselamatan kerja, hak-hak kesejahteraan lainnya, yang bukan saja tidak diatur dalam peraturan tertulis yang berpihak pada kepentingan buruh, tetapi juga ditegakkan oleh pegawai-pegawai negara yang pada prakteknya sangat berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Untuk itu kawan-kawan harus terus mempelajarinya. Kunci dari segala permasalahan ini ialah tidak adanya organisasi atau serikat buruh yang benar-benar dapat mewakili dan melindungi kepentingan-kepentingan kaum buruh di Indonesia. Untuk itu negara juga merampas hak berorganisasi buruh melalui peraturan-peraturan tentang hak berorganisasi yang sebenarnya sama sekali tidak memberikan kesempatan kaum buruh untuk berorganisasi. Oleh karena itu sesungguhnya hukum yang berlaku sekarang tidak dapat dijadikan alat perjuangan kaum buruh, bahkhttp://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8107851996729448797an kaum buruh harus berjuang untuk sebuah perubahan hukum yang lebih adil.Jadi, mempelajari hukum perburuhan bukanlah untuk membuat kita tahu, hapal kemudian dijadikan pedoman untuk perjuangan kita. Tetapi mempelajari hukum perburuhan berarti mencoba dengan kritis melihat sisi-sisi yang merugikan kaum buruh dan berjuang untuk melakukan perubahan. Apabila hukum sudah dianggap adil oleh kaum buruh, maka hukum dapat dijadikan alat untuk perjuangan kaum buruh. Dapatkah hukum berubah? Tentu saja dapat sebagaimana yang telah kita bahas di muka, bahwa hukum itu mengikuti perkembangan masyarakat. Maka perkembangan kesadaran dan kekuatan kaum buruh untuk memperjuangkan haknya adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan hukum.Selamat berjuang!****
Sumber:
http://members.fortunecity.com/edicahy/selectedworks/surbakti.html
Rabu, 15 September 2010
LBH Palembang Terima Tiga Pengaduan Terkait THR
Senin, 30 Agustus 2010 | 09:07 WIB
Kepala Divisi Ekonomi Sosial Budaya dan Sipil Politik LBH Palembang Andre Meilansyah mengatakan ada tiga laporan yang masuk, namun masih berbentuk konsultasi dan belum naik pada tahapan advokasi.
“Baru tiga yang melapor namun masih tahap konsultasi,” katanya, Senin (30/8).
Menurut Andre, satu laporan yang masuk mewakili 37 karyawan sebuah perusahaan di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Karyawan outsourcing ini diduga terancam tidak mendapatkan THR. Sementara dua pelapor lain merupakan karyawan toko atau supermarket dan dari perusahaan jasa pengelolaan yang berada di Kota Palembang.
”Memang sedikit yang mau lapor, maka kami mengharapkan agar masyarakat tidak segan-segan melaporkan dan berkonsultasi dengan kami jika bermasalah dengan persoalan perburuhan, terutama pelanggaran THR yang biasa terjadi saat mendekati Lebaran,” katanya.
Sejauh ini, LBH juga terus berkoordinasi dengan sejumlah serikat buruh yang ada di Sumatera Selatan sehingga semakin mudah dalam melakukan pemantauan. ”Kami juga melakukan investigasi ke pabrik, mal, lewat akses serikat pekerja,” ujarnya.
Dia mengatakan minimnya pekerja atau karyawan melapor lantaran khawatir laporannya berdampak fatal, yaitu bisa saja di-PHK sehingga pelanggaran-pelanggaran masih saja terjadi dan tidak bisa terpantau secara maksimal.
”Kita terus melakukan sosialisasi Undang-Undang Tenaga Kerja yang mengatur hak-hak karyawan. Kita juga mendorong agar serikat pekerja di perusahaan berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak karyawan,” jelasnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Sumatera Selatan Rizal Fathoni mengatakan setiap perusahaan wajib membayarkan tunjangan hari raya paling lambat H-7 Lebaran bagi karyawannya. Jika melanggar, bukan tidak mungkin akan diberikan sanksi.
”Untuk itu, kita minta semua pihak melapor jika ada perusahaan yang melanggar. Kita akan berikan sanksi. Karyawan berhak mendapatkan hak mereka yaitu THR menjelang Lebaran,” katanya.
ARIF ARDIANSYAH
Selasa, 14 September 2010
Standar Gaji
Memberi nafkah pada anak dan keluarga secara layak saya kira merupakan salah satu ikhtiar penting yang mesti kita lakoni dengan sepenuh hati. Bekerja dengan iklhas dan penuh dedikasi demi mendapat penghasilan atau income yang memadai tentu juga merupakan sebuah rangkaian ibadah yang mesti kita rawat dengan penuh keteguhan.
Penghasilan yang layak dan nafkah yang memadai tentu saja tidak lepas dari standard gaji atau penghasilan yang Anda terima setiap bulannya. Lalu berapa standard gaji untuk setiap level yang berlaku di dunia kerja Indonesia? Berikut adalah daftar standard gaji yang kira-kira menggambarkan besaran pendapatan yang diterima oleh para pekerja dan manajer di tanah air setiap bulannya.
Fresh Graduates/Entry Level. Kisaran Standard Gaji Rp 2 – 3 juta/bulan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, besaran gaji para fresh graduates (lulusan S-1) tampaknya tidak bergerak naik secara signifikan. Penyebabnya sederhana : supply cenderung jauh lebih tinggi dibanding demand; sehingga buyer (perusahaan) memiliki keleluasaan untuk memberikan gaji yang relatif rendah. Meski demikian sejumlah perusahaan multi nasional kini memberikan gaji bagi para fresh graduate-nya pada angka Rp 4 juta/bulan; sementara Bank Indonesia sejauh yang saya tahu, telah memberikan gaji Rp 5 juta/bulan untuk para lulusan sarjana baru yang bekerja untuk mereka. Namun demikian, masih banyak juga lulusan sarjana S-1 baru yang mendapat gaji sebanding dengan UMR alias sekitar Rp 1 jutaan saja per bulan.
Asisten Manajer. Kisaran Standard Gaji Rp 5 – 8 juta/bulan
Jika Anda sudah bekerja di kantor Anda selama 3 – 5 tahun, selayaknya Anda sudah menduduki posisi ini. Dan itu artinya Anda bisa mendapatkan income sekitar Rp 5 – 8 jutaan per bulannya. Kalau sudah bertahun-tahun Anda tetap saja menjadi staf biasa dan tak pernah kunjung naik posisinya ke level ini, ya Anda bisa mulai melakukan sejumlah manuver untuk membuat perjalanan karir menjadi stagnan selamanya. Sebab kalau ndak pernah naik posisinya, gaji Anda ya juga ndak akan naik-naik (sementara harga semangkuk lontong sayur rasanya terus bergerak naik).
Manajer/Kepala Bagian. Kisaran Standard Gaji Rp 10 – 15 juta/bulan
Dalam kurun waktu 7 – 10 tahun bekerja, selayaknya Anda sudah bisa berada pada posisi ini Kisaran gaji untuk posisi ini adalah Rp 10 – 15 juta, meski ada sejumlah perusahaan yang memberikan gaji hingga Rp 20 juta/bulan untuk para manajernya. Namun sejumlah bank nasional, seperti Bank BNI misalnya, memberikan gaji sekitar Rp 12 – 14 jutaan/bulan kepada para manajernya.
Selain gaji yang cukup tinggi, karyawan pada posisi ini biasanya akan mendapatkan car ownership program (program kepemilikan mobil). Dulu, perusahaan tempat saya bekerja memberikan bantun gratis sebesar 70% dari harga mobil; dan sang manajer hanya memberikan alokasi 30 % saja, untuk bisa mendapatkan sebuah mobil sekelas Kijang Innova atau Honda City.
Manajer Senior/General Manajer/VP. Kisaran Standard Gaji Rp 20 – 30 juta/bulan
Minggu lalu disela-sela memberikan workshop kepada sebuah perusahaan perkebunan besar di Medan, saya berbincang-bincang dengan salah satu pesertanya yang kebetulan berposisi sebagai Manajer Senior. Ia bilang kalau ia memperoleh gaji sebesar Rp 25 juta/bulan. Dan ajaibnya, karena limpahan harga komoditi yang melonjak di tahun lalu, ia bilang tahun ini perusahaannya akan memberikan bonus 8 kali gaji (!) kepada seluruh karyawannya. “Alhamdulilah pak Yodhia….”, ujarnya dengan wajah sumringah. Halah, bagaimana ndak sumringah, wong sebentar lagi mau mendapat rezeki sebesar Rp 200 juta kontan.
Division Head/Executive VP/Direktur/Direktur Utama. Kisaran Standard Gaji Rp 50 juta – 100 juta/bulan.
Dengan kisaran gaji seperti itu, pendapatan para direktur/division head/EVP berarti hampir sama dengan gaji seorang pilot senior Boeing 747 Jumbo di maskapai Garuda Indonesia (sebab gaji pilot senior untuk rute internasional di Garuda adalah Rp 90 juta/bulan).
Business Owner. Kisaran Standard Gaji : Unlimited.
Nah, kalau Anda merasa ndak mampu menjadi manajer atau senior manajer, dan karirnya begitu-begitu saja; mengapa tidak memutuskan memulai usaha sendiri dan menjadi seoarng business owner? Sebab dengan posisi itu, potensi gaji atau pendapatan Anda bersifat unlimited (tidak terbatas). Sebab Anda sendiri yang dengan bebas bisa menentukan berasa besar pendapatan yang layak Anda terima.
Demikianlah kira-kira Standard Gaji 2009. Silakan dicermati apakah pendapatan Anda saat ini masih jauh dibawah standar atau sudah layak nan memadai. Dan kalau ternyata standard gaji sampeyan masih jauh dari memadai, ya ndak usah ngomel-ngomel dan menumpahkan kekesalan di kolom komentar blog ini. Lebih baik : always think positive and be optimistic !!
Sumber :
Senin, 13 September 2010
Buku di Perpustakaan Pekerja-September 2010
Resensi Buku Perpustakaan Pekerja
Judul : Mempersiapkan Dana Pendidikan Anak
Penulis :Safir Senduk
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Halaman : 145 Halaman
Apa bila ada pertanyaan apakah yang paling penting bagi kita sebagai orang tua? Bisa jadi jawabannya adalah memberikan pendidikan yang baik untuk anak. Memberikan pendidikan yang baik untuk anak adalah tujuan yang mulia karena setiap anak memiliki masa depan yang dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan peradaban. Masa depan yang dapat terwujud apabila diberikan pendidikan yang baik oleh orang tuanya.
Sering terjadi orang tua tidak bisa memenuhi kewajiban ini karena tidak memiliki dana yang cukup pada saat anak mereka masuk sekolah.
Pada buku ini Safir Senduk, seorang perencana keuangan, membahas secara lengkap bagaimana seharusnya mempersiapkan dana pendidikan anak tanpa harus terjebak dalam bahasa dan rumus keuangan yang membingungkan bagi orang banyak.
Topik yang dibahas diantaranya:
· Bagaimana menghitung perkiraan Biaya Pendidikan anak Anda kelak?
· Bagaimana mempersiapkan dananya sesuai dengan perkiraan biayanya?
· Bagaimana memilih produk investasi yang sebaiknya digunakan?
· Perbedaan menabung sendiri dan mengambil Asuransi Pendidikan, dan apakah Asuransi Pendidikan merupakan solusi yang tepat untuk mempersiapkan dana pendidikan?
Buku ini juga dilengkapi dengan tip tentang apa saja yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan dana pendidikan, cara melakukan evaluasi, dan bagaimana merencanakan pendidikan diluar negri. Tidak lupa juga dilampiri dengan “kalkulator” yang akan memudahkan Anda melakukan perhitungan-perhitungan. Selamat mempersiapkan dana pendidikan anak tercinta.
BUKU BARU PERPUSTAKAAN PEKERJA:
1. The Leader In Me. Kisah Sukses Sekolah dan Pendidik Menggali Potensi Terbesar Setiap Anak. (Stephen R. Covey).
2. Mempersiapkan Dana Pendidikan Anak (Safir Senduk).
3. Merancang Program Pensiun (Safir Senduk)
4. Mengatur Pengeluaran Secara Bijak (Safir Senduk)
5. Mencari Penghasilan Tambahan (Safir Senduk)
6. Karyawan Harus Nabung Biar Makmur (Safir Senduk)
7. Buka Usaha Enggak Kaya Percuma (Safir Senduk)
8. Ekonomi Politik Kaum Buruh
Kamis, 09 September 2010
Lech Walesa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lech Wałęsa lahir di Popowo, Polandia, 29 September 1943; umur 66 tahun) adalah politikus Polandia, mantan Persatuan dagang, dan aktivis Serikat pekerja serta mantan tukang listrik. Ia turut mendirikan Solidaritas (Solidarność), serikat pekerja indenpenden pertama di Blok Soviet. Ia meraih penghargaan Nobel Perdamaian pada 1993 dan menjabat Presiden Polandia pada periode 1990-1995 (menggantikan Aleksander Kwaśniewski)
Rabu, 08 September 2010
Muhammad Yunus
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ia terpilih sebagai penerima Penghargaan Perdamaian Nobel (bersama dengan Grameen Bank) pada tahun 2006.
Pendidikan
Yunus lahir di Chittagong, dan belajar di Chittagong Collegiate School dan Chittagong College. Kemudian ia melanjutkan ke jenjang Ph.D. di bidang ekonomi di Universitas Vanderbilt pada tahun 1969. Selesai kuliah, ia bekerja di Universitas Chittagong sebagai dosen di bidang ekonomi. Saat Bangladesh mengalami bencana kelaparan pada tahun 1974, Yunus terjun langsung memerangi kemiskinan dengan cara memberikan pinjaman skala kecil kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Ia yakin bahwa pinjaman yang sangat kecil tersebut dapat membuat perubahan yang besar terhadap kemampuan kaum miskin untuk bertahan hidup.Pada tahun 1976, Yunus mendirikan Grameen Bank yang memberi pinjaman pada kaum miskin di Bangladesh. Hinggal saat ini, Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman lebih dari 3 miliar dolar ke sekitar 2,4 juta peminjam. Untuk menjamin pembayaran utang, Grameen Bank menggunakan sistem "kelompok solidaritas". Kelompok-kelompok ini mengajukan permohonan pinjaman bersama-sama, dan setiap anggotanya berfungsi sebagai penjamin anggota lainnya, sehingga mereka dapat berkembang bersama-sama.
Keberhasilan model Grameen ini telah menginspirasikan model serupa dikembangkan di dunia berkembang lainnya, dan bahkan termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat.
Selasa, 07 September 2010
Kepemimpinan Diri
Banyak orang yang ingin menjadi pemimpin, tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa, untuk memimpin orang lain, seseorang terlebih dahulu harus terampil dalam memimpin diri sendiri.
Banyak orang juga kagum pada seorang pemimpin, tetapi tidak banyak yang tahu bahwa mereka sendiri, sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, sengaja atau tidak sengaja, pasti pernah berperan sebagai seorang pemimpin dalam berbagai situasi dalam kehidupannya. Agar sukses dan puas untuk menjalankan peran masing-masing, setiap orang memerlukan kemampuan untuk memimpin diri sendiri.
”Self-awareness”
Carol A. Connor dalam bukunya Leadership in A Week mengungkapkan bahwa pemahaman diri bagi seorang pemimpin bisa dijadikan dasar untuk memperbaiki kinerja maupun untuk meningkatkan kepercayaan diri, dan pemahamannya terhadap orang lain. Jadi, penting bagi seorang pemimpin untuk mendedikasikan waktunya tidak hanya untuk memahami orang lain, tetapi terlebih dahulu adalah untuk memahami diri sendiri: apa nilai-nilai yang dianutnya (misalnya: kejujuran, kerja sama, tanggung jawab), apa kelemahan dan kelebihannya, apa minatnya, apa tujuannya dalam hidup, apa yang diperjuangkannya.
Misalnya saja Bill Gates, sang maharaja bisnis dari Microsoft. Bill Gates sadar bahwa ia memang mempunyai banyak pengalaman dan minat yang tinggi di sisi teknis, tetapi masih kurang berpengalaman di sisi bisnis. Untuk itu, ia mengangkat orang lain untuk menangani sisi bisnis dari kerajaan bisnisnya, sementara ia tetap berkonsentrasi pada sisi teknologi yang menjadi minat dan keahliannya sejak awal.
Ada berbagai cara yang bisa kita lakukan untuk memahami diri. Salah satu cara adalah melalui feedback (umpan balik) dari orang lain (bawahan, atasan, rekan sejawat, teman, sahabat). Namun, kita juga harus bisa memilah mana masukan yang bisa kita tindak lanjuti, mana yang kita dengar saja. Cara lain, adalah dengan melakukan pengamatan terhadap reaksi orang-orang di sekitar kita (sikap mereka, ucapan mereka, tindakan mereka) dalam berinteraksi dengan kita, karena tindakan orang lain terhadap kita, umumnya merupakan cerminan dari tindakan kita kepada mereka.
Misalnya: jika kita mengasihi, maka orang lain juga cenderung mengasihi kita; jika kita menghormati pendapat orang lain, keputusan orang lain, maka sebaliknya orang lain juga akan cenderung menghormati pendapat dan keputusan kita.
Cara yang diusulkan oleh O’Connor adalah melakukan penilaian diri (self-assessment), dengan menjawab secara jujur pertanyaan berikut: Apakah saya memimpin dengan cara yang (jika saya menjadi bawahan) bersedia untuk dipimpin?
”Self-directing”
Seorang pemimpin akan membawa orang yang dipimpinnya berangkat dari satu titik ke titik lainnya, atau dari satu kondisi ke kondisi yang dituju. Demikian pula dengan kepemimpinan diri, kita perlu menetapkan dengan jelas ke mana kita akan pergi (tujuan hidup kita), sehingga kita bisa memimpin diri kita bergerak menuju tujuan hidup tersebut.
Semakin jelas tujuan hidup (cita-cita ataupun mimpi) yang ingin kita raih, akan menjadi lebih mudah bagi kita untuk memimpin diri meraih tujuan tersebut. Dalam hal ini penetapan visi dan misi pribadi menjadi sangat penting.
Lalu bagaimana menentukan tujuan hidup? Setelah mengenal diri sendiri, tentu kita juga mengenal mimpi yang ingin kita wujudkan. Apa yang ingin saya capai dalam hidup ini? Apa yang menarik minat saya untuk saya perjuangkan dalam hidup ini?
Misalnya saja Romo Mangun yang memiliki visi untuk memperjuangkan kelayakan hidup bagi orang-orang miskin. Melalui visinya ini ia menyusun misi untuk membangun perumahan yang layak, murah, dan sehat bagi kaum papa. Contoh lainnya adalah Kartini yang memiliki mimpi agar wanita Indonesia juga bisa mengecap pendidikan yang sama dengan yang diberikan oleh mitra mereka, kaum pria. Mimpi inilah yang menjadi titik tolak dari semua keputusan, kegiatan, dan tindakan yang diambil Kartini dalam memimpin orang-orang di sekitarnya untuk bersama-sama mewujudkan mimpi tersebut.
”Self-managing”
Setelah kita mengetahui dengan jelas apa yang ingin kita capai, selanjutnya adalah mengelola diri kita untuk mencapai tujuan tersebut. Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah menyusun tindakan-tindakan yang akan kita lakukan dalam skala prioritas: dari yang paling penting sampai yang kurang penting. Karena keterbatasan waktu, sarana, prasarana, kita tidak bisa melakukan semua yang ingin kita lakukan sekaligus. Kita perlu menentukan tindakan ataupun keputusan apa menjadi prioritas kita pada saat ini, dan mana yang akan dikerjakan kemudian. Tentunya selain menyusun rencana tindakan berdasarkan prioritas, langkah selanjutnya adalah dengan memperhitungkan unsur waktu, yaitu: waktu pelaksanaannya (time-frame).
Stephen Covey mengemukakan konsep penting (yang dapat menunjang pencapaian tujuan hidup kita) dan genting (yang menuntut perhatian segera) dalam pengelolaan waktu. Banyak orang yang terperangkap hanya pada pelaksanaan tindakan yang genting saja (walaupun seringkali tidak penting), misalnya: ketika sedang melakukan presentasi di depan calon pembeli tiba-tiba telepon genggam kita berdering, kita cenderung menghentikan presentasi untuk mengangkat telepon (yang mungkin saja dari rekan sekerja yang menanyakan kita akan makan siang di mana hari itu).
Covey menekankan bahwa yang perlu dilatih adalah mengelola kegiatan yang penting, tanpa menunggu kegiatan tersebut menjadi genting, karena biasanya dalam kondisi genting, kita banyak melakukan kesalahan yang sebenarnya bisa kita hindari. If you fail to plan, you plan to fail (Jika kita gagal membuat rencana, kita telah membuat rencana untuk gagal), begitu kata orang bijak. Jadi, yang perlu kita lakukan agar tidak terperangkap dalam suasana genting (namun seringkali tidak penting), adalah dengan membuat perencanaan terlebih dahulu sebelum melakukan suatu tindakan.
”Self-accomplishment”
Setelah prioritas disusun dan jangka waktu penyelesaiannya diatur dengan baik, langkah selanjutnya adalah melaksanakan yang sudah direncanakan tersebut. Untuk itu kita perlu mengidentifikasi sarana, prasarana yang sudah ada dan yang perlu ditambah; keterampilan yang sudah kita kuasai yang dapat menunjang penyelesaian tindakan dan keterampilah yang masih harus kita pelajari untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan adanya tujuan yang jelas, prioritas yang sudah disusun, serta rencana yang matang (dengan berbagai skenario kemungkinan), kita akan lebih siap untuk meraih mimpi. Sekalipun ada hambatan yang harus kita hadapi, kita tidak khawatir lagi, karena berbagai hambatan tersebut sudah diantisipasi sebelumnya, dan kita pun sudah menyiapkan Rencana B (seandainya skenario A tidak terjadi).
Dalam mencapai mimpi, diperlukan keyakinan dan komitmen yang tinggi untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan keyakinan diri yang tinggi untuk sukses, akan lebih mudah bagi kita untuk meyakinkan orang lain juga untuk berjuang. Dengan komitmen yang tinggi, kita tidak rentan terhadap godaan, hambatan, dan masalah, dan orang lain juga akan lebih percaya kepada kita sebagai pemimpin dengan melihat dedikasi kita pada tercapainya tujuan.
Keyakinan yang teguh, serta komitmen yang tinggi perlu ditunjang dengan upaya pengembangan diri yang berkelanjutan. Tanpa meng-update diri terhadap perkembangan yang terjadi, terutama di seputar bidang yang kita perjuangkan, kita akan terlibas oleh perubahan yang mengikuti perkembangan tersebut.
Misalnya saja Nelson Mandela yang memperjuangkan persamaan hak bagi ras kulit berwarna di Afrika Selatan. Dengan keyakinan yang tinggi bahwa suatu saat perjuangan akan membuahkan hasil, serta komitmen yang juga tinggi terhadap perjuangan tersebut (walaupun ia harus menjalani sebagian hidup di dalam penjara), Nelson Mandela berhasil mengobarkan semangat dan rasa percaya para pengikutnya untuk tetap berjuang. Hasilnya? Sejarah telah membuktikan bahwa di Afrika Selatan saat ini, setiap warga negara bisa menikmati hak yang sama sesuai dengan peran dan kontribusi mereka masing-masing.
Kita semua pasti pernah dan akan berperan sebagai pemimpin: di tempat kerja, di keluarga, di masyarakat. Namun, sebelum memimpin orang lain, kita perlu memiliki kemampuan untuk memimpin diri sendiri. Caranya? Pahami diri untuk mengenal dengan baik nilai yang kita anut, keunggulan yang perlu dipertahankan ataupun ditingkatkan, dan kelemahan yang perlu diperbaiki. Kita juga perlu memiliki visi dan misi pribadi agar kita tahu ke arah mana kita harus memimpin diri sendiri.
Selanjutnya adalah mengelola diri, terutama dalam menentukan prioritas dan memperhitungkan aspek waktu. Yang terakhir adalah memiliki keyakinan dan komitmen tinggi untuk meraih sukses yang telah dicita-citakan. Ingin menjadi seorang pemimpin yang layak dipercaya dan diikuti orang banyak? Pastikan bahwa Anda pun bisa memimpin diri sendiri terlebih dahulu. Sukses untuk Anda. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
Sumber: www.sinarharapan.co.id
Banyak orang juga kagum pada seorang pemimpin, tetapi tidak banyak yang tahu bahwa mereka sendiri, sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, sengaja atau tidak sengaja, pasti pernah berperan sebagai seorang pemimpin dalam berbagai situasi dalam kehidupannya. Agar sukses dan puas untuk menjalankan peran masing-masing, setiap orang memerlukan kemampuan untuk memimpin diri sendiri.
”Self-awareness”
Carol A. Connor dalam bukunya Leadership in A Week mengungkapkan bahwa pemahaman diri bagi seorang pemimpin bisa dijadikan dasar untuk memperbaiki kinerja maupun untuk meningkatkan kepercayaan diri, dan pemahamannya terhadap orang lain. Jadi, penting bagi seorang pemimpin untuk mendedikasikan waktunya tidak hanya untuk memahami orang lain, tetapi terlebih dahulu adalah untuk memahami diri sendiri: apa nilai-nilai yang dianutnya (misalnya: kejujuran, kerja sama, tanggung jawab), apa kelemahan dan kelebihannya, apa minatnya, apa tujuannya dalam hidup, apa yang diperjuangkannya.
Misalnya saja Bill Gates, sang maharaja bisnis dari Microsoft. Bill Gates sadar bahwa ia memang mempunyai banyak pengalaman dan minat yang tinggi di sisi teknis, tetapi masih kurang berpengalaman di sisi bisnis. Untuk itu, ia mengangkat orang lain untuk menangani sisi bisnis dari kerajaan bisnisnya, sementara ia tetap berkonsentrasi pada sisi teknologi yang menjadi minat dan keahliannya sejak awal.
Ada berbagai cara yang bisa kita lakukan untuk memahami diri. Salah satu cara adalah melalui feedback (umpan balik) dari orang lain (bawahan, atasan, rekan sejawat, teman, sahabat). Namun, kita juga harus bisa memilah mana masukan yang bisa kita tindak lanjuti, mana yang kita dengar saja. Cara lain, adalah dengan melakukan pengamatan terhadap reaksi orang-orang di sekitar kita (sikap mereka, ucapan mereka, tindakan mereka) dalam berinteraksi dengan kita, karena tindakan orang lain terhadap kita, umumnya merupakan cerminan dari tindakan kita kepada mereka.
Misalnya: jika kita mengasihi, maka orang lain juga cenderung mengasihi kita; jika kita menghormati pendapat orang lain, keputusan orang lain, maka sebaliknya orang lain juga akan cenderung menghormati pendapat dan keputusan kita.
Cara yang diusulkan oleh O’Connor adalah melakukan penilaian diri (self-assessment), dengan menjawab secara jujur pertanyaan berikut: Apakah saya memimpin dengan cara yang (jika saya menjadi bawahan) bersedia untuk dipimpin?
”Self-directing”
Seorang pemimpin akan membawa orang yang dipimpinnya berangkat dari satu titik ke titik lainnya, atau dari satu kondisi ke kondisi yang dituju. Demikian pula dengan kepemimpinan diri, kita perlu menetapkan dengan jelas ke mana kita akan pergi (tujuan hidup kita), sehingga kita bisa memimpin diri kita bergerak menuju tujuan hidup tersebut.
Semakin jelas tujuan hidup (cita-cita ataupun mimpi) yang ingin kita raih, akan menjadi lebih mudah bagi kita untuk memimpin diri meraih tujuan tersebut. Dalam hal ini penetapan visi dan misi pribadi menjadi sangat penting.
Lalu bagaimana menentukan tujuan hidup? Setelah mengenal diri sendiri, tentu kita juga mengenal mimpi yang ingin kita wujudkan. Apa yang ingin saya capai dalam hidup ini? Apa yang menarik minat saya untuk saya perjuangkan dalam hidup ini?
Misalnya saja Romo Mangun yang memiliki visi untuk memperjuangkan kelayakan hidup bagi orang-orang miskin. Melalui visinya ini ia menyusun misi untuk membangun perumahan yang layak, murah, dan sehat bagi kaum papa. Contoh lainnya adalah Kartini yang memiliki mimpi agar wanita Indonesia juga bisa mengecap pendidikan yang sama dengan yang diberikan oleh mitra mereka, kaum pria. Mimpi inilah yang menjadi titik tolak dari semua keputusan, kegiatan, dan tindakan yang diambil Kartini dalam memimpin orang-orang di sekitarnya untuk bersama-sama mewujudkan mimpi tersebut.
”Self-managing”
Setelah kita mengetahui dengan jelas apa yang ingin kita capai, selanjutnya adalah mengelola diri kita untuk mencapai tujuan tersebut. Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah menyusun tindakan-tindakan yang akan kita lakukan dalam skala prioritas: dari yang paling penting sampai yang kurang penting. Karena keterbatasan waktu, sarana, prasarana, kita tidak bisa melakukan semua yang ingin kita lakukan sekaligus. Kita perlu menentukan tindakan ataupun keputusan apa menjadi prioritas kita pada saat ini, dan mana yang akan dikerjakan kemudian. Tentunya selain menyusun rencana tindakan berdasarkan prioritas, langkah selanjutnya adalah dengan memperhitungkan unsur waktu, yaitu: waktu pelaksanaannya (time-frame).
Stephen Covey mengemukakan konsep penting (yang dapat menunjang pencapaian tujuan hidup kita) dan genting (yang menuntut perhatian segera) dalam pengelolaan waktu. Banyak orang yang terperangkap hanya pada pelaksanaan tindakan yang genting saja (walaupun seringkali tidak penting), misalnya: ketika sedang melakukan presentasi di depan calon pembeli tiba-tiba telepon genggam kita berdering, kita cenderung menghentikan presentasi untuk mengangkat telepon (yang mungkin saja dari rekan sekerja yang menanyakan kita akan makan siang di mana hari itu).
Covey menekankan bahwa yang perlu dilatih adalah mengelola kegiatan yang penting, tanpa menunggu kegiatan tersebut menjadi genting, karena biasanya dalam kondisi genting, kita banyak melakukan kesalahan yang sebenarnya bisa kita hindari. If you fail to plan, you plan to fail (Jika kita gagal membuat rencana, kita telah membuat rencana untuk gagal), begitu kata orang bijak. Jadi, yang perlu kita lakukan agar tidak terperangkap dalam suasana genting (namun seringkali tidak penting), adalah dengan membuat perencanaan terlebih dahulu sebelum melakukan suatu tindakan.
”Self-accomplishment”
Setelah prioritas disusun dan jangka waktu penyelesaiannya diatur dengan baik, langkah selanjutnya adalah melaksanakan yang sudah direncanakan tersebut. Untuk itu kita perlu mengidentifikasi sarana, prasarana yang sudah ada dan yang perlu ditambah; keterampilan yang sudah kita kuasai yang dapat menunjang penyelesaian tindakan dan keterampilah yang masih harus kita pelajari untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan adanya tujuan yang jelas, prioritas yang sudah disusun, serta rencana yang matang (dengan berbagai skenario kemungkinan), kita akan lebih siap untuk meraih mimpi. Sekalipun ada hambatan yang harus kita hadapi, kita tidak khawatir lagi, karena berbagai hambatan tersebut sudah diantisipasi sebelumnya, dan kita pun sudah menyiapkan Rencana B (seandainya skenario A tidak terjadi).
Dalam mencapai mimpi, diperlukan keyakinan dan komitmen yang tinggi untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan keyakinan diri yang tinggi untuk sukses, akan lebih mudah bagi kita untuk meyakinkan orang lain juga untuk berjuang. Dengan komitmen yang tinggi, kita tidak rentan terhadap godaan, hambatan, dan masalah, dan orang lain juga akan lebih percaya kepada kita sebagai pemimpin dengan melihat dedikasi kita pada tercapainya tujuan.
Keyakinan yang teguh, serta komitmen yang tinggi perlu ditunjang dengan upaya pengembangan diri yang berkelanjutan. Tanpa meng-update diri terhadap perkembangan yang terjadi, terutama di seputar bidang yang kita perjuangkan, kita akan terlibas oleh perubahan yang mengikuti perkembangan tersebut.
Misalnya saja Nelson Mandela yang memperjuangkan persamaan hak bagi ras kulit berwarna di Afrika Selatan. Dengan keyakinan yang tinggi bahwa suatu saat perjuangan akan membuahkan hasil, serta komitmen yang juga tinggi terhadap perjuangan tersebut (walaupun ia harus menjalani sebagian hidup di dalam penjara), Nelson Mandela berhasil mengobarkan semangat dan rasa percaya para pengikutnya untuk tetap berjuang. Hasilnya? Sejarah telah membuktikan bahwa di Afrika Selatan saat ini, setiap warga negara bisa menikmati hak yang sama sesuai dengan peran dan kontribusi mereka masing-masing.
Kita semua pasti pernah dan akan berperan sebagai pemimpin: di tempat kerja, di keluarga, di masyarakat. Namun, sebelum memimpin orang lain, kita perlu memiliki kemampuan untuk memimpin diri sendiri. Caranya? Pahami diri untuk mengenal dengan baik nilai yang kita anut, keunggulan yang perlu dipertahankan ataupun ditingkatkan, dan kelemahan yang perlu diperbaiki. Kita juga perlu memiliki visi dan misi pribadi agar kita tahu ke arah mana kita harus memimpin diri sendiri.
Selanjutnya adalah mengelola diri, terutama dalam menentukan prioritas dan memperhitungkan aspek waktu. Yang terakhir adalah memiliki keyakinan dan komitmen tinggi untuk meraih sukses yang telah dicita-citakan. Ingin menjadi seorang pemimpin yang layak dipercaya dan diikuti orang banyak? Pastikan bahwa Anda pun bisa memimpin diri sendiri terlebih dahulu. Sukses untuk Anda. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
Sumber: www.sinarharapan.co.id
Potret Diri
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Sumber: www.experd.com
Seorang teman baik, merasa dirinya sangat trampil dalam mengajar. Padahal banyak ‘trainee’ yang merasa tidak nyaman bila diajar olehnya, karena merasa terlalu digurui, bahkan dipojokkan. Selain konsep yang dibawakan terkadang tidak jelas, beliau juga tidak memahami teknik mengajar yang benar. Susahnya tidak ada gejala atau tanda-tanda bahwa teman kita ini “ngeh” dengan keterbatasan ini. Orang-orang di sekitarnya tampak juga tidak memberi gambaran yang jelas kepada yang bersangkutan bagaimana sebenarnya pandangan orang lain terhadap dirinya.
Ini masih belum ekstrim. Kita juga menyaksikan betapa beberapa tokoh politik tertentu unjuk kekuatan dan berkomunikasi tanpa tata karma yang lazim, seolah ‘tidak sadar’ bahwa mereka disorot media dan akan mendapat ‘image’ negatif. Di sisi lain, ada orang yang sedemikian “ja-im”-nya (jaga image), sehingga tidak wajar, tidak menjadi dirinya dan terkesan ingin jadi ‘orang lain’ di luar dirinya. Dalam pergaulan pun kita juga sering berguman dalam hati, bila melihat seseorang yang berdandan terlalu mencolok, berbicara terlalu keras ataupun melakukan sesuatu yang membuat lingkungan merasa sedikit ‘aneh’, “Kok, dia tidak sadar ya…?”
Seorang ahli berpendapat: “Finding your identity is a process with no real end point”. Artinya, kita tidak pernah selesai menelaah siapa diri kita. Hari ini kita bisa sangat sukses, memenangkan kompetisi dan mendapatkan applause dari peserta seminar. Besok kita bisa merasa down karena dimaki orang yang tidak kita kenal karena kesalahan bodoh yang kita lakukan. Kita pun terkadang didera rasa bersalah, misalnya karena menyakiti teman sekerja dengan kata-kata yang tidak pantas ataupun tanpa sengaja membuat orang lain dirugikan. Pada saat-saat down seperti ini, sebenarnya, banyak diantara kita yang otomatis melakukan refleksi dan mempertanyakan ‘siapa diri’-nya. Sesungguhnya, pencarian diri memang tidak pernah selesai, berkembang dan berubah terus. Namun, kita pun bisa membayangkan bahwa ada orang-orang di sekitar kita yang memang tidak berupaya untuk mendapatkan gambaran yang ‘pas’ tentang dirinya atau bahkan tidak tergerak untuk bersikap jujur terhadap dirinya
Keluar dari Diri
Kita tentu pernah melihat video yang menggambarkan diri kita. Menarik jika kita perhatikan reaksi orang ketika melihat gambaran dirinya. Ada yang worry mengenai berat badannya, ada yang memperhatikan bajunya, ada juga yang baru sadar bahwa gaya bicaranya tidak ia sukai. Inilah salah satu saat kita menyadari “bagaimana kita melihat diri kita”, gambaran sederhana cara kita untuk meningkatkan penyadaran diri. Kita seolah menonton diri kita yang sedang ‘acting’ di panggung. Banyak orang yang mempunyai gambaran jelas mengenai keadaan fisiknya. Namun, bagaimana orang menemukan gambaran yang jelas tentang “jati diri”-nya?
Kita ingat bahwa kegagalan membangun bisnis atau mendapatkan promosi sering membuat kita merasa ‘gagal’ dan bahkan mencerca diri sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kita sendiri yang mencanangkan harapan terhadap diri kita. Pernahkah kita mengecek ulang harapan tersebut? Apakah sasaran yang kita inginkan itu terlalu jauh sehingga membuat kita takut, marah bahkan frustrasi? Pernahkah kita mengecek harapan orang lain terhadap diri kita dan menyeimbangkan harapan tersebut sesuai dengan kemampuan? Bukankah kesadaran akan kemampuan diri dan harapan terhadap diri yang realistislah yang akan membantu kita mengambil sikap yang pas sehingga bisa melangkah dengan gagah, sekaligus enteng dan happy? Bila kita tidak sadar diri, seperti teman kita yang tidak tahu bahwa kemampuan mengajarnya sangat jauh dari ekspektasi, tentu kita sendiri yang rugi karena kita jadi sulit berubah.
Self Awareness untuk Diakui, Bukan untuk Didiskusikan
Seorang rekan kerja mempunyai masalah dengan komunikasinya. Setiap kali kita mengingatkan cara komunikasinya, ia serta-merta menerangkan, balas menyerang, bahkan mengundang debat. Hal ini menyebabkan ia menjadi atasan yang kurang efektif. Suatu hari, saat ia betul-betul terbentur masalah dengan anak buahnya dan meminta masukan, beberapa teman menyarankan untuk tidak meninggikan suara saat bicara, menambahkan beberapa kalimat dalam menjawab pertanyaan, dan bahkan sedikit tersenyum dalam memberi instruksi. Meskipun ia masih berusaha mempertanyakan:”Ah, masak sih….”, namun kemudian ia terdiam, mencerna dan tampak tampak sangat berusaha memperbaiki diri.
Self awareness adalah kemampuan melihat pola pikir, perilaku kita yang berada di ketidaksadaran dan mengangkatnya ke alam sadar. Hanya dengan menyadari barulah kita bisa “menyetel”-nya. Self awareness bukanlah sebuah ilmu, tapi lebih merupakan ketajaman persepsi dan observasi, terhadap diri sendiri, baik secara fisik maupun proses mental dan psikologis yang berlangsung dalam diri kita. Self awareness lebih bisa dicapai dengan upaya ‘mengosongkan’ pemikiran dan pendapat mengenai diri sendiri, sehingga kita bisa mendapatkan ‘kacamata’ baru dalam mendalami diri. Syukur-syukur bila kita memang sudah mengembangkan sikap yang mengundang kritik membangun, sehingga orang di sekitar kita selalu siap menguakkan dan mengguncang self awareness kita agar tidak terus menerus menjadi ‘blind spot’ atau misteri bagi diri kita sendiri. Memang, seperti dikemukakan Oscar Wilde: “The final mystery is oneself”.
Ditayangkan di KOMPAS, 27 Maret 2010
Ini masih belum ekstrim. Kita juga menyaksikan betapa beberapa tokoh politik tertentu unjuk kekuatan dan berkomunikasi tanpa tata karma yang lazim, seolah ‘tidak sadar’ bahwa mereka disorot media dan akan mendapat ‘image’ negatif. Di sisi lain, ada orang yang sedemikian “ja-im”-nya (jaga image), sehingga tidak wajar, tidak menjadi dirinya dan terkesan ingin jadi ‘orang lain’ di luar dirinya. Dalam pergaulan pun kita juga sering berguman dalam hati, bila melihat seseorang yang berdandan terlalu mencolok, berbicara terlalu keras ataupun melakukan sesuatu yang membuat lingkungan merasa sedikit ‘aneh’, “Kok, dia tidak sadar ya…?”
Seorang ahli berpendapat: “Finding your identity is a process with no real end point”. Artinya, kita tidak pernah selesai menelaah siapa diri kita. Hari ini kita bisa sangat sukses, memenangkan kompetisi dan mendapatkan applause dari peserta seminar. Besok kita bisa merasa down karena dimaki orang yang tidak kita kenal karena kesalahan bodoh yang kita lakukan. Kita pun terkadang didera rasa bersalah, misalnya karena menyakiti teman sekerja dengan kata-kata yang tidak pantas ataupun tanpa sengaja membuat orang lain dirugikan. Pada saat-saat down seperti ini, sebenarnya, banyak diantara kita yang otomatis melakukan refleksi dan mempertanyakan ‘siapa diri’-nya. Sesungguhnya, pencarian diri memang tidak pernah selesai, berkembang dan berubah terus. Namun, kita pun bisa membayangkan bahwa ada orang-orang di sekitar kita yang memang tidak berupaya untuk mendapatkan gambaran yang ‘pas’ tentang dirinya atau bahkan tidak tergerak untuk bersikap jujur terhadap dirinya
Keluar dari Diri
Kita tentu pernah melihat video yang menggambarkan diri kita. Menarik jika kita perhatikan reaksi orang ketika melihat gambaran dirinya. Ada yang worry mengenai berat badannya, ada yang memperhatikan bajunya, ada juga yang baru sadar bahwa gaya bicaranya tidak ia sukai. Inilah salah satu saat kita menyadari “bagaimana kita melihat diri kita”, gambaran sederhana cara kita untuk meningkatkan penyadaran diri. Kita seolah menonton diri kita yang sedang ‘acting’ di panggung. Banyak orang yang mempunyai gambaran jelas mengenai keadaan fisiknya. Namun, bagaimana orang menemukan gambaran yang jelas tentang “jati diri”-nya?
Kita ingat bahwa kegagalan membangun bisnis atau mendapatkan promosi sering membuat kita merasa ‘gagal’ dan bahkan mencerca diri sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kita sendiri yang mencanangkan harapan terhadap diri kita. Pernahkah kita mengecek ulang harapan tersebut? Apakah sasaran yang kita inginkan itu terlalu jauh sehingga membuat kita takut, marah bahkan frustrasi? Pernahkah kita mengecek harapan orang lain terhadap diri kita dan menyeimbangkan harapan tersebut sesuai dengan kemampuan? Bukankah kesadaran akan kemampuan diri dan harapan terhadap diri yang realistislah yang akan membantu kita mengambil sikap yang pas sehingga bisa melangkah dengan gagah, sekaligus enteng dan happy? Bila kita tidak sadar diri, seperti teman kita yang tidak tahu bahwa kemampuan mengajarnya sangat jauh dari ekspektasi, tentu kita sendiri yang rugi karena kita jadi sulit berubah.
Seorang rekan kerja mempunyai masalah dengan komunikasinya. Setiap kali kita mengingatkan cara komunikasinya, ia serta-merta menerangkan, balas menyerang, bahkan mengundang debat. Hal ini menyebabkan ia menjadi atasan yang kurang efektif. Suatu hari, saat ia betul-betul terbentur masalah dengan anak buahnya dan meminta masukan, beberapa teman menyarankan untuk tidak meninggikan suara saat bicara, menambahkan beberapa kalimat dalam menjawab pertanyaan, dan bahkan sedikit tersenyum dalam memberi instruksi. Meskipun ia masih berusaha mempertanyakan:”Ah, masak sih….”, namun kemudian ia terdiam, mencerna dan tampak tampak sangat berusaha memperbaiki diri.
Self awareness adalah kemampuan melihat pola pikir, perilaku kita yang berada di ketidaksadaran dan mengangkatnya ke alam sadar. Hanya dengan menyadari barulah kita bisa “menyetel”-nya. Self awareness bukanlah sebuah ilmu, tapi lebih merupakan ketajaman persepsi dan observasi, terhadap diri sendiri, baik secara fisik maupun proses mental dan psikologis yang berlangsung dalam diri kita. Self awareness lebih bisa dicapai dengan upaya ‘mengosongkan’ pemikiran dan pendapat mengenai diri sendiri, sehingga kita bisa mendapatkan ‘kacamata’ baru dalam mendalami diri. Syukur-syukur bila kita memang sudah mengembangkan sikap yang mengundang kritik membangun, sehingga orang di sekitar kita selalu siap menguakkan dan mengguncang self awareness kita agar tidak terus menerus menjadi ‘blind spot’ atau misteri bagi diri kita sendiri. Memang, seperti dikemukakan Oscar Wilde: “The final mystery is oneself”.
Ditayangkan di KOMPAS, 27 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)