Kamis, 20 September 2012

Lebih Jauh Mengenal Transfer Pricing

Istilah transfer pricing memang jarang terdengar di pasar keuangan, termasuk pasar modal. Istilah ini muncul sesekali ketika ada kasus atau transaksi material yang agak ganjil atau tidak wajar.

Karena itu, istilah ini tidak terlalu populer. Namun, dari sisi substansi, transfer pricing sangat perlu dipahami oleh setiap pelaku pasar. Hal ini dikarenakan praktik transfer pricing bisa dilakukan oleh siapa saja, baik untuk kepentingan kelompok maupun pemegang saham tertentu, terutama pemegang saham mayoritas. Biasanya praktik transfer pricing dilakukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu, bukan pemegang saham secara keseluruhan, apalagi pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya.


Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan transfer pricing? Transfer pricing pada dasarnya merupakan transaksi atas barang dan jasa atau aset tertentu -biasanya dilakukan- dalam satu kelompok usaha  yang dilakukan pada  harga  yang tidak wajar melalui proses menaikkan harga (mark up) maupun menurunkan harga (mark down). Tujuan transfer pricing ini umumnya bersifat negatif karena berkaitan dengan false treatment pada perpajakan dan mark up keuntungan oleh pemegang saham mayoritas.


Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi berikut. Sebuah perusahaan -sebut saja Holding Company- berkedudukan di luar negeri. Holding Company memiliki anak usaha di Indonesia, yaitu PT ABC,  yang bergerak di bidang farmasi. Untuk memproduksi barang farmasi yang dijual di Indonesia, PT ABC mengimpor bahan baku dari Holding Company. Harga wajar bahan baku tersebut di pasar hanya dihargai USD100 per kg. Tapi, dalam transaksi antara Holding Company dengan PT ABC, harga bahan baku yang sama dijual dengan harga USD400 per kg. Di sini tampak ada mark up harga sebesar USD300 per kg. Transaksi semacam ini kecil sekali kemungkinannya untuk dilakukan -kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin- jika bukan dalam satu grup usaha atau tidak ada hubungan yang istimewa antara dua perusahaan tadi.


Ilustrasi di atas merupakan sebuah gambaran model transfer pricing yang dilakukan dalam satu tahap. Pada praktiknya, transfer pricing bisa dilakukan melalui beberapa tahap. Dalam contoh di atas, Holding Company tidak harus bertransaksi langsung dengan anak perusahaan di Indonesia. Ia bisa melakukan transaksi melalui beberapa tahap. Misalnya, tahap awal adalah menjualnya kepada anak perusahaan yang berkedudukan di Thailand. Lalu, dari Thailand barang tersebut diteruskan (baca: dijual) ke perusahaan yang ada di Malaysia, baru setelah itu perusahaan di Malaysia melakukan transaksi dengan perusahaan farmasi yang menjadi target akhir transaksi. Ketika sampai di Indonesia, harganya sudah naik berkali lipat.


Dengan cara begitu, jelas saja anak usaha PT ABC yang berkedudukan di Indonesia akan menderita kerugian karena ia harus membayar bahan baku di harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan lainnya. PT ABC yang semestinya bisa untung malah menjadi buntung. Pemerintah semestinya bisa memungut pajak penghasilan karena usaha PT ABC mendapatkan keuntungan, tapi karena ulah atau praktik transfer pricing tadi PT ABC tercatat rugi sehingga tidak perlu membayar utang. Inilah modus penghindaran pajak. Karena modus-modus seperti inilah, kita perlu mengkritisi jika ada PMA di Indonesia yang rugi terus-menerus.


Nah, praktik atau model transfer pricing seperti ilustrasi di atas tidak hanya terjadi pada perusahaan besar yang masih menjadi perusahaan tertutup, tetapi bisa juga terjadi pada perusahaan publik yang setiap hari perdagangan sahamnya diketahui oleh pasar. Jika praktik semacam ini terjadi di pasar modal dan dilakukan oleh salah satu emiten, maka sudah sangat jelas bahwa hal itu akan merugikan seluruh pemegang saham.


Kemungkinannya begini. Misalkan X adalah pengusaha besar. Ia memiliki banyak perusahaan, ada yang sudah go public dan ada pula yang bersifat tertutup di mana 100 persen sahamnya dimiliki oleh X. Di atas kertas, perusahaan X yang sudah go public seharusnya mendapatkan keuntungan dalam jumlah besar, misalnya Rp100 miliar. Namun, jika X menerapkan transfer pricing antara perusahaan yang sudah go public dengan perusahaan yang belum go public, maka keuntungan perusahaan yang go public tadi bisa hanya sebesar Rp50 miliar, Rp40 miliar, atau bahkan bisa di bawah itu.


Pada akhirnya, praktik seperti ini tidak hanya merugikan pemerintah karena ada pajak yang tidak dibayar, tetapi juga merugikan pemegang saham minoritas yang tidak bisa berbuat apa-apa. Praktik transfer pricing juga bisa terjadi pada transaksi-transaksi merger dan akuisisi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest). Begitulah, kemungkinan adanya praktik transfer pricing memang harus diwaspadai. 


Lasti Panjaitan


Kamis, 08 Desember 2011 11.32 WIB

(LP/IC/vbm)
(LP/IC/vbm)


Sumber:  (Vibizmanagement – Tax)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar