Kamis, 17 Februari 2011

Tak Ada Keadilan Sosial Tanpa Jaminan Sosial

Burhanudin nyaris kehilangan semuanya. Ia menderita penyakit kulit aneh. Usianya baru 10 tahun, tapi penyakit yang dideritanya telah merampas keceriaan masa kecilnya. Dia teriak kesakitan acap kali kulitnya kena cahaya. Kulitnya mengelupas, bahkan kedua matanya sudah tak mampu menangkap cahaya. Sudah sembilan tahun Burhan menderita penyakit aneh itu. Namun, baru sekali saja Ita, ibunya, mampu membawa Burhan ke rumah sakit. Ayahnya, Adi, sehari-hari hanyalah seorang buruh angkut barang di pelabuhan penyeberangan Punggur-Tanjunguban.

”Saya tidak punya uang untuk bawa ke dokter. Selama ini kami bawa ke dukun saja,” kata Ita, warga Pulau Ngenang, Kecamatan Nongsa, Batam, ini. Sebagai ibu, Ita hanya punya mimpi sederhana, suatu saat kelak melihat Burhan berlarian di bawah matahari pagi dan bermain bersama teman sebayanya.

Jaminan Sosial adalah HAK!

Burhan tidak sendirian, masih ada Bilqis yang akhirnya harus mengakhiri rasa sakitnya dengan kehilangan nyawanya. Masih ada Fikri yang mengidap penyakit serupa dengan Bilqis, dan kini hanya bisa pasrah dirumahnya menunggu maut datang menjemput. Penghasilan ayah Fikri, Abdul sebagai pegawai toko bunga di Jakarta Barat tidak memungkinkan untuk membiayai pengobatan Fikri.

Semua kisah mereka ramai dibahas di media massa. Inilah juga realitas kepedihan yang harus ditanggung oleh sebagian besar rakyat Indonesia akibat tidak adanya jaminan sosial terutama jaminan kesehatan. Ketika sakit, siap-siap jatuh miskin. Jika memang sudah miskin, siap-siap mati bagai anjing.

Tidak ingin ada rakyatnya yang mati bagai anjing, Barack Obama, Presiden Amerika Serikat, negara kapitalis utama di dunia, rela membatalkan perjalanannya ke Indonesia Maret 2010 lalu, dan memilih bersama rakyatnya guna meyakinkan parlemen pentingnya jaminan sosial di negera tersebut. Sekalipun itu dengan risiko kehilangan popularitas bahkan kemungkinan terpilih lagi di tahun 2012 nanti!

Bagaimana dengan Indonesia? Yudhoyono memang bukan Obama. Presiden kita ini, yang memimpin sebuah Negara yang mengaku Pancasilais dengan keadilan sosialnya, tak kunjung juga menjalankan tanggung jawabnya menegakkan konstitusi.

Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 tegas menyatakan: Setiap orang berhak atas JAMINAN SOSIAL yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabatDan Pasal 34 ayat (2) mengatur: Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Artinya jaminan sosial adalah hak Seluruh anak bangsa! Dan ketika amanah UUD 1945 ini tidak dijalankan, berarti pemerintah juga telah menghianati konstitusi.

Berbeda dengan Amerika Serikat yang baru saja memiliki UU untuk melaksanakan jaminan kesehatan dan jaminan sosial bagi seluruh warganya, Indonesia sudah memiliki UU tersebut sejak 2004! Melalui UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang menawarkan suatu sistem jaminan sosial menyeluruh bagi seluruh penduduk Indonesia.

Sayangnya Pejabat Negara tampak lebih disibukkan dengan urusannya masing-masing dan saling berebut kepentingan. Rakyat pun lebih disuguhi berbagai sinetron politik tanpa melalui isu-isu elitis, macam skandal Bank Century atau Susno-Gayus. Tentu isu ini memang pantas dibongkar, tetapi isu jaminan sosial yang merupakan kebutuhan mendasar dan fondasi eksistensi sebuah Negara juga pantas mendapat porsinya.

“Negara kita sudah tertinggal jauh dari negara-negara tetangga dalam hal pemenuhan jaminan sosial bagi rakyatnya. Dengan alasan krisis ekonomi, negara meminta pemakluman rakyat untuk tidak memenuhi hak rakyatnya atas jaminan sosial yang merupakan fungsi hakiki suatu Negara,” ujar Ridwan Monoarfa, anggota DJSN dari unsur buruh, dalam suatu diskusi tentang jaminan sosial, Februari 2010.

Pernyataan ini tentunya punya landasan yang kuat. Tidak perlu jauh-jauh, Negara serumpun Malaysia berkembang jauh lebih awal bahkan untuk ukuran Asia Tenggara. Tahun 1951 Malaysia memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri wajib mengikuti program ini. Malaysia juga membangun sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Dikarenakan seluruh rakyat sudah mendapat jaminan pelayanan kesehatan gratis, maka jaminan kesehatan tidak masuk dalam sistem jaminan sosial di Malaysia (Kertonegoro, 1998; Roy, 2001).

Filipina bahkan lebih duluan lagi. Pengembangan program jaminan sosial di negara ini sudah dimulai sejak 1948. Tahun 1992 semua pekerja informal sudah wajib ikut program jaminan sosial, dan di tahun 1993 pembantu rumah tangga juga diwajibkan untuk mengikuti program jaminan sosial, yang disebut Social Security System (SS) dan dikelola oleh suatu Badan di bawah Departemen KeuanganPada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari anggkatan kerja, termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002).

Sementar itu, seperti yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia, Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi kesehatan wajib di tahun 1976. Pada saat ini seluruh penduduk Korea Selatan sudah mendapat jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Jaminan kesehatan memang sering jadi pintu masuk jaminan sosial untuk semua.

SJSN adalah Jawaban

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat adalah hak konstitusional, dan tidak ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial. Namun jauh panggang dari api, jaminan sosial di Indonesia terbatas dinikmati sebagian kelompok masyarakat saja. Dengan praktis hanya dinikmati sekitar 15 juta buruh sektor formal dan menyingkirkan sektor informal yang merupakan 70 persen dari total 100an juta penduduk usia kerja.

Dari seluruh kelompok masyarakat, pegawai negeri dan anggota TNI/Polri adalah yang paling dijamin. Melalui Taspen (pegawai negeri) dan Asabri (TNI/Polri), mereka bisa menikmati simpanan hari tua, dana kematian dan dana pensiun. Dari total pembiayaannya, 70 persen datang dari Pemerintah melalui APBN, dengan hanya 8 persen kontribusi dari pegawai negeri dan TNI/Polri sendiri.

Pemerintah tampaknya hanya mengurus buruhnya sendiri, dan tidak mempedulikan buruh swasta dan informal yang merupakan bagian terbesar Negara ini. Ketika buruh dan pengusaha harus bahu-membahu membayar iuran sendiri, pegawai negeri dan TNI/Polri menikmati jaminan sosial secara menyeluruh dengan bantuan pemerintah. Ini ironis, karena salah satu alasan penolakan Pemerintah melaksanakan UU SJSN adalah karena soal pembiayaan ini.

Bagi penduduk miskin memang ada program Jamkesmas, yang lebih merupakan bantuan sosial daripada jaminan sosial. Tapi seperti dijelaskan Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, Jamkesmas yang selama ini berjalan dihimpit setumpuk kekurangan. Salah satunya adalah bahwa Jamkesmas tidak benar-benar gratis.

Jamkesmas mempunyai daftar obat yang ditanggung. Artinya, ada yang tidak gratis. Padahal biaya berobat dan obat-obatan untuk penyakit berat seperti kanker misalnya, harganya bisa tembus sampai ke langit ke tujuh, sementara kebanyakan pasien kanker adalah orang miskin, akibatnya tetap saja si pasien akan dirawat ala kadarnya atau jika berbaik hati si dokter juga mesti ikut pusing mencari tambahan dana. Atau harus rela mati.

Sesungguhnya jalan keluar atas masalah ini ditawarkan oleh UU SJSN. Dalam UU SJSN ada prinsip gotong royong, dimana semua orang mengiur, dan terjadilah subsidi silang. Orang yang mampu akan mengiur sendiri, sedangkan orang yang tidak mampu akan mengiur dengan dibantu Negara melalui APBN.

Dengan konsep ini , maka tidak ada lagi perbedaan perlakuan atas pelayanan kesehatan. Semua rakyat indonesia mempunyai hak pelayanan kesehatan yang sama.Artinya, semua warga, tanpa pandang bulu miskin atau kaya, berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara.

Di sisi lain, pelolaan anggaran Negara pun menjadi lebih terasa bermanfaat. Rakyat pun tidak harus jadi ”SADIKIN”, sakit dikit miskin, atau ”JAMILA”, jatuh miskin lagi, ketika sakit. (riz/stj)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar