Rabu, 16 Juni 2010

Bonar, situkang semir sepatu

Oleh: Papa El Gabe

“Ma, aku pergi sekolah, ya “, kata Bonar sambil mencium tangan ibunya,
“ Hati- hati di jalan ya nak, bagaimana perlengkapan mu, sudah beres “, ibu Bonar mengelus kepala Bonar dengan kasih sayang seorang ibu.
“ Sudah, ma, semuanya sudah beres “, Bonar menyahut sambil keluar dari ruangan tamu rumah dan pergi kesekolah.
Begitulah setiap hari jika Bonar hendak pergi kesekolah, selalu permisi dan selalu mencium tangan ibunya, dan ibunya selalu mengelus rambut anaknya.

Bonar adalah murid kelas VI ( enam ) SD, seorang lelaki muda dan sangat ulet dan rajin. Bonar adalah anak ketiga dan bungsu dari kedua orang tuanya. Dua kakaknya adalah perempuan, yang sulung sekarang duduk dibangku sekolah SMA kelas I ( satu ) dan kakaknya yang nomor dua duduk dibangku SMP kelas II ( dua ).
Ayah Bonar telah meninggal dunia setahun yang lalu. Dahulu pekerjaan ayah Bonar adalah seorang penarik becak. Biarpun seorang penarik becak, ayah Bonar tidak pernah mengeluh soal kehidupan keluarganya. Dia selalu menasehati istri dan anak-anaknya. Kehidupan mereka tergolong orang yang susah dan miskin dalam hal harta. Mereka tinggal dalam rumah yang kecil dan terbuat dari dinding kayu. Halaman rumahnya sedikit agak luas dan dapat ditanami sayur-sayauran dan beberapa bunga berwarna-warni, yang membuat tatanan halaman rumah menjadi indah dan rapi.
Bagian dalam rumah dengan perabot yang sederhana tapi diatur dengan rapi dan bersih, sehingga setiap orang yang masuk kedalam rumah itu merasa tenteram dan nyaman.
Ayah Bonar selalu menekankan kepada anak dan istrinya bahwa walaupun keuangan mereka pas-pasan, bukan berarti bahwa mereka harus melakukan yang tidak baik, harus mencemburui orang yang berkecukupan atau melakukan apa saja untuk mendapatkan sesuatu dan menghalkan semua demi uang.
“ Itu tidak boleh kita lakukan “ begitu kata ayahnya kepada Bonar dan kakak-kakaknya.
“ Biarpun kehidupan kita seperti ini, kita harus bisa memisahkan kebajikan dengan ketidakbajikan” ayahnya meneruskan percakapannya.
“ Dan kamu Bonar, kamu sebagai anak laki-laki ayahmu harus dapat bertanggung jawab terhadap keluargamu, jangan cengeng dan jangan cepat putus asa, berlaku baik dan jujur dan selalu sopan terhadap yang lebih tua “. Ayah Bonar meneruskan.
Itu yang selalu diingat oleh Bonar. Sebagai lelaki harus bertanggung jawab terhadap keluarga.

Bonar mendayung sepedanya kesekolah. Jarak antara rumah bonar dengan sekolahnya sekitar lima kilo meter. Rumah Bonar terletak diluar kota kecil dan disebuah desa yang tidak berapa ramai, tapi penduduknya terdiri dari beragam suku dan beragam kehidupan sosial yang berbeda. Ada yang miskin dan ada juga yang kaya.
Bonar selalu membawa ransel kesekolahnya. Dan didalam ransel tersebut, bonar membawa buku dan juga baju pengganti dan juga makanan untuk dimakan sepulang dari sekolah dan yang tidak pernah dilupakan Bonar adalah seperangkat alat kerjanya yaitu alat untuk menyemir sepatu.
Benar memang, Bonar adalah seorang tukang semir sepatu. Sepulang sekolah Bonar tidak pulang kerumahnya, tetapi pergi kekota yang jaraknya dari sekolahnya sekitar enam- tujuh kilo meter. Dia menyemir sepatu orang yang singgah makan dirumah makan atau dimana saja jika dia melihat orang kaya pakai sepatu selalu ditanyakannya, apakah butuh bantuannya untuk menyemir sepatu.
Ibu Bonar dengan diam-diam bekerja mencuci pakaian orang kaya yang ada didesanya. Ya ibunya bekerja dengan diam-diam dan tidak sepengetahuan bonar. Karena Bonar akan tidak setuju jika ibunya bekerja, karena menurut Bonar pekerjaannya dan pendapatannya sebagai tukang semir sepatu sudah lumayan.
Suatu ketika Bonar menjumpai sebuah dompet disebuah kursi dirumah makan yang tergolong mewah. Bonar membuka dompet tersebut. Bonar membukanya bukan untuk mengambil uangnya tapi karena ingin mengetahui kalau-kalau ada alamat si empunya dompet itu. Dan benar dugaan bonar, didalam dompet itu ada KTP siempunya dompet dan bonar membacanya dan bonar tahu bahwa alamat orang itu kira-kira cukup jauh dan hampir sepuluh kilo meter dari rumah makan itu. Bonar adalah bonar yang telah di didik oleh ayahnya sebagai lelaki baik dan bertanggung jawab. Bonar mengayuh sepedanya menuju rumah yang tertera di KTP tersebut. Bonar melihat rumah itu sangat besar dan mewah. Bonar memberanikan diri masuk kehalaman rumah itu. Bonar dihadang oleh satpam rumah itu. Bonar menerangkan maksud kedatangannya. Bonar dipersilahkan menunggu diluar rumah.
Seorang lelaki gagah keluar menjumpai bonar. Bonar dipersilahkan duduk dikursi teras. Bonar menyerahkan dompet lelaki itu. Bapak itu kaget dan sangat berterima kasih kepada Bonar, karena memang lelaki itu tidak merasa kehilangan, karena lelaki itupun baru sampai kerumahnya. Lelaki itu belum sempat membuka bajunya. Dompet itu berisi surat-surat penting dan sangat dibutuhkan lelaki itu. Lelaki itu berterima kasih dan memberi Bonar uang terima kasih yang cukup banyak untuk ukuran Bonar. Bonar menolak pemberian lelaki itu.
“ Saya hanya ingin mengantar dompet ini, tanpa menginginkan imbalan “ jawab bonar.
Lelaki itu terperangah. Dia tidak menyangka didunia ini masih ada seperti bonar. Dia menyangka bahwa bonar menyerahkan dompetnya hanya untuk meminta imbalan, tapi dia salah menilai orang.

Banyak dari kita memang menilai orang dengan kaca mata kita, dan langsung membuat penilaian dan memvonis. Dan bahkan terkadang lebih jauh dari itu.
Bonar meninggalkan lelaki itu dan pulang kerumahnya.
Lelaki itu mengikuti bonar dari belakang. Dia penasaran dan ingin melihat keluarga yang bagaimana keluarga bonar ini.
Sesampai dirumah, bonar mencium tangan ibunya dan memberi hasil kerjanya, semuanya kepada ibunya.
Memang seperti itulah bonar, selalu menyerahkan seluruh hasil kerjanya kepada ibunya, tidak ada yang disimpan. Dia percaya akan ibunya dan berpikir bahwa ibunya akan melakukan yang terbaik bagi dia dan kedua kakaknya, bagi anak-anaknya. Kepercayaan penuh dan ikhlas dari seorang anak berbakti terhadap ibu sejati.
Lelaki itu mengetuk pintu rumah bonar.
Ibu Bonar mempersilahkan lelaki itu masuk.
Lelaki itu menceritakan semuanya dan ingin memberi imbalan kepada ibu bonar. Ibu Bonar juga menolak. Lelaki itu sekali lagi terperangah. Dia tidak menyangka bahwa walaupun kehidupan keluarga ini tergolong susah, tapi … Dia termenung, dan sadar bahwa terkadang uang bukanlah segalanya dan seakan kekayaan yang telah dikumpulkannya bertahun-tahun tidak dipandang dan tidak ada harganya dikeluarga ini.
Memang banyak orang berpendapat bahwa uang adalah segala-galanya, uang dapat membeli segala sesuatu, uang dapat menaikkan martabat seseorang. Sehingga banyak orang berlomba-lomba untuk mengumpulkan uang, walau dengan berbagai macam cara dan berpikir bahwa jika sudah punya uang banyak maka kita akan senang dan dapat menikmati hidup dengan bahagia.
Uang memang perlu dan dapat membeli sesuatu. Tapi di dalam keluarga bonar, uang itu memang perlu, tapi yang lebih perlu lagi adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli oleh uang, kebajikan.
Banuayu, Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar